Dilema Larangan Tenaga Honor di Sekolah : Antara Regulasi dan Kebutuhan Riil Pendidikan - Investigasi Warta Global

Mobile Menu

Pendaftaran

Klik

More News

logoblog

Dilema Larangan Tenaga Honor di Sekolah : Antara Regulasi dan Kebutuhan Riil Pendidikan

Wednesday, 5 November 2025

Oleh : Dr. (Cand) Ali Rosad, S.Pd, M.Pd
Pemerhati Pendidikan

Kebijakan pemerintah yang melarang sekolah menerima tenaga honor serta menetapkan sanksi bagi sekolah yang tetap menginput mereka ke sistem dapodik merupakan langkah yang diklaim untuk menata sistem kepegawaian nasional. Langkah ini dimaksudkan agar formasi tenaga pendidik dan kependidikan lebih tertib, transparan dan sesuai mekanisme ASN. Namun kebijakan tersebut memunculkan kekhawatiran di dunia pendidikan, terutama karena implementasinya belum sepenuhnya sejalan dengan kebutuhan riil sekolah di lapangan.

Pertanyaan mendasar yang muncul adalah apakah pemerintah mampu memenuhi seluruh kebutuhan tenaga pendidikan dan kependidikan di satuan pendidikan? Fakta menunjukkan hingga saat ini masih banyak posisi krusial di sekolah yang tidak dapat dipenuhi oleh pemerintah, terutama di lingkungan SMK. Tenaga teknisi laboratorium, teknisi bengkel kejuruan atau toolman, operator mesin industri, teknisi jaringan dan pengelola sarana praktik merupakan contoh tenaga kependidikan yang sangat penting untuk mendukung pembelajaran berbasis kompetensi. Kenyataannya posisi tersebut selama ini banyak bergantung pada tenaga honor karena keterbatasan formasi ASN.

Apabila sekolah tidak diberikan ruang untuk merekrut tenaga honor sementara pemerintah belum mampu menyediakan tenaga teknis secara menyeluruh, maka akan timbul potensi stagnasi dalam operasional sekolah. Banyak pekerjaan teknis yang berisiko terbengkalai, terutama yang berkaitan dengan pengelolaan sarana dan prasarana pendukung pembelajaran. Dampaknya secara langsung akan dirasakan peserta didik. Kegiatan belajar mengajar, khususnya di bidang vokasi, dapat mengalami gangguan serius karena tidak ada tenaga ahli yang menangani peralatan praktik maupun pendampingan teknis di kelas. Hal ini tentu bertentangan dengan misi utama pendidikan, yaitu memberikan kualitas layanan terbaik kepada siswa.

Oleh karena itu saya mengusulkan pemerintah perlu mempertimbangkan mekanisme transisi yang realistis dan solutif. Larangan tanpa menyediakan alternatif bukanlah jawaban bagi kebutuhan pendidikan nasional yang dinamis dan kompleks. Pemerintah perlu membuat skema baru yang lebih fleksibel, seperti pengadaan tenaga teknis kontrak daerah, kemitraan industri untuk tenaga praktik atau formasi khusus tenaga vokasi non-guru. Kebijakan pendidikan seharusnya tidak hanya berbasis regulasi, tetapi juga mempertimbangkan fakta dan kebutuhan operasional di sekolah.

Kebijakan yang baik bukan hanya menertibkan sistem, tetapi harus memastikan keberlangsungan mutu layanan pendidikan. Tanpa solusi yang tepat, larangan tenaga honor berpotensi menurunkan kualitas pendidikan dan merugikan peserta didik sebagai generasi penerus bangsa. Saya berharap pemerintah mendengar suara satuan pendidikan dan memastikan kebijakan ini berjalan seiring dengan ketersediaan tenaga profesional yang memadai. 

KALI DIBACA