MALUT, Investigasi WartaGlobal.id - Ketua DPC F-SPIM Halmahera Tengah Sahrudin Abdu Menyoroti dan mengecam Anjloknya Rancangan Pengupaan UMP Maluku Utara Terlihat Jelas Tidak Memihak pada Pekerja Buru kami menganggap bahwa Dewan Pengupahan Mirip Oligarki
Sahrudin Abdu selaku ketua DPC F-SPIM, mengatakan ada beberapa alasan utama mengapa banyak orang melihat kemiripan antara Dewan Pengupahan dan oligarki.
Kepentingan Diri yang Mendominasi:
Kelompok pemberi kerja di dewan seringkali memprioritaskan keuntungan perusahaan daripada kebutuhan buruh. Mereka seringkali berargumen bahwa kenaikan upah yang terlalu tinggi akan meningkatkan biaya operasional, menyebabkan pengurangan tenaga kerja (PHK), atau menghambat investasi. Meskipun argumen ini memiliki dasar yang masuk akal, terkadang mereka digunakan secara berlebihan untuk menekan kenaikan upah yang seharusnya diperoleh buruh berdasarkan kondisi ekonomi dan biaya hidup.
Di sisi lain, kelompok pemerintah terkadang memprioritaskan target pertumbuhan ekonomi dan investasi daripada kesejahteraan buruh. Mereka khawatir bahwa jika upah terlalu tinggi, daerah akan kalah saing dalam menarik investasi dari luar. Akibatnya, keputusan dewan seringkali cenderung memihak pada kepentingan pemberi kerja dan pemerintah, bukan kepentingan buruh yang lebih banyak," ujarnya pada Rabu, 24/12/2025
Kurangnya Transparansi dalam Proses Pengambilan Keputusan:
Proses penetapan UMP/UMK di dewan seringkali kurang transparan. Data dan perhitungan yang digunakan untuk menentukan kenaikan upah tidak selalu dibagikan kepada publik atau pihak pekerja. Terkadang, keputusan diambil melalui negosiasi tertutup di balik layar, di mana kelompok kecil elit memiliki kekuasaan untuk menentukan hasilnya tanpa pengawasan yang cukup.
Kurangnya transparansi ini memudahkan kelompok berkuasa untuk mempromosikan kepentingan diri mereka sendiri dan menghindari tanggung jawab kepada publik, yang merupakan ciri lain dari oligarki.
Ketergantungan Buruh pada Kelompok Berkuasa:
Ia menambahkan bahwa Buruh, yang merupakan pihak yang paling terkena dampak oleh keputusan dewan, seringkali tidak memiliki suara yang cukup dalam proses pengambilan keputusan. Mereka bergantung pada perwakilan serikat pekerja untuk mewakili kepentingan mereka, tetapi serikat pekerja tersebut terkadang kurang efektif atau bahkan terjebak dalam kepentingan politik yang tidak sejalan dengan kepentingan buruh.
Akibatnya, buruh menjadi ketergantung pada kelompok berkuasa di dewan untuk menentukan upah mereka, yang membuat mereka rentan terhadap eksploitasi. Ini mirip dengan situasi di oligarki, di mana rakyat umum tidak memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi keputusan yang mempengaruhi kehidupannya," tambahnya
Konsentrasi Kekuasaan pada Daerah Tertentu:
Dalam beberapa daerah, Dewan Pengupahan dikendalikan oleh kelompok kecil pengusaha yang memiliki bisnis besar di sektor tertentu (seperti pertambangan, perkebunan, atau manufaktur). Mereka memiliki kekuasaan untuk mempengaruhi keputusan dewan agar menguntungkan bisnis mereka sendiri, bahkan jika itu berarti merugikan buruh atau perekonomian daerah secara keseluruhan.
Ini menciptakan situasi di mana kekuasaan ekonomi berubah menjadi kekuasaan politik, yang merupakan ciri inti dari oligarki.
Dampak dari Praktik yang Mirip Oligarki pada Dewan Pengupahan Maluku Utara:
Jika Dewan Pengupahan memang beroperasi seperti oligarki, hal ini akan memiliki dampak negatif yang signifikan, antara lain.
Meningkatkan Ketimpangan Pendapatan:
Keputusan dewan yang memihak pada pemberi kerja akan menyebabkan kenaikan upah yang lambat atau tidak sesuai dengan biaya hidup. Ini akan memperlebar kesenjangan antara pendapatan buruh dan pengusaha, meningkatkan ketimpangan pendapatan di masyarakat.
Ini akan Menurunkan Kualitas Hidup Buruh:
Buruh yang menerima upah yang rendah akan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan. Ini akan menurunkan kualitas hidup mereka dan berdampak negatif pada kesejahteraan keluarga serta generasi mendatang.
Menurunkan Produktivitas Kerja:
Ketidakpuasan buruh karena upah yang rendah dan kurangnya perhatian terhadap kepentingan mereka akan menurunkan motivasi dan produktivitas kerja. Ini akan berdampak negatif pada kinerja perusahaan dan pertumbuhan ekonomi daerah.
Meningkatkan Ketidakstabilan Sosial:
Ketidakadilan dalam penetapan upah dapat menimbulkan kemarahan dan ketidakpuasan di antara buruh, yang berpotensi menyebabkan protes, mogok kerja, atau bahkan ketidakstabilan sosial. Ini akan mengganggu aktivitas ekonomi dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Coba Kita Lihat Proyeksi Kenaikan UMK Morowali 2026:
Morowali sebagai kabupaten di Sulawesi Tengah akan menetapkan Upah Minimum Kabupaten (UMK) berdasarkan rekomendasi Dewan Pengupahan Kabupaten, dengan acuan UMP Provinsi Sulawesi Tengah yang telah ditetapkan sebesar Rp 3.179.565 (naik 9,08% dari 2025). Namun, karena Morowali adalah kawasan industri dengan aktivitas pertambangan yang besar, UMK-nya cenderung lebih tinggi dari UMP provinsi.
Berdasarkan proyeksi menggunakan formula baru (inflasi nasional 2,5% dan pertumbuhan ekonomi nasional 5,1%), UMK Morowali 2026 diperkirakan berada di kisaran:
- Rp 3.903.840 (jika alfa 0,5, kenaikan 5,05%)
- Rp 3.979.547 (jika alfa 0,9, kenaikan 7,09%).
Perbandingan Besaran dan Faktor Penyebab Perbedaan:
Jika dibandingkan, rancangan UMP Maluku Utara 2026 (Rp 3.552.840) masih lebih rendah dari proyeksi UMK Morowali 2026 (Rp 3.903.840 - Rp 3.979.547). Persentase kenaikan juga jauh berbeda: 4,25% di Maluku Utara versus 5,05-7,09% di Morowali.
Faktor penyebab perbedaan ini meliputi:
Lebih jauhnya lagi Ketua DPC F-SPIM Halmahera Tengah, memaparkan Keputusan Dewan Pengupahan: Di Maluku Utara, Dewan tampaknya lebih memprioritaskan keberlanjutan usaha daripada kebutuhan buruh, meskipun pertumbuhan ekonomi tinggi. Di Morowali, meskipun proyeksi belum final, formula baru dengan rentang alfa yang lebih luas memungkinkan kenaikan yang lebih signifikan," kata ketua DPC F-SPIM
Kondisi Ekonomi Daerah: Meskipun Maluku Utara memiliki pertumbuhan ekonomi yang sangat tinggi (33,19%), kemungkinan besar pertumbuhan tersebut terkonsentrasi di sektor tertentu (seperti pertambangan) dan belum merata ke seluruh lapisan masyarakat. Morowali sebagai kawasan industri juga memiliki tekanan biaya hidup yang lebih tinggi, sehingga perlu kenaikan upah yang lebih besar.
Catatan Penting untuk Dewan Pengupaan terkait Rancangan UMP Maluku Utara 2026 belum final dan masih bisa diubah agar Segerah Mungkin Mengundang Sulu elemen Serikat Pekerja Maupun Yang Lainnya sebelum ditetapkan oleh Gubernur,
Sementara UMK Morowali juga masih dalam proses perhitungan oleh Dewan Pengupahan Kabupaten. Namun, perbedaan dalam pendekatan Dewan Pengupahan di kedua daerah telah menimbulkan kontroversi, terutama di Maluku Utara yang dianggap tidak memihak buruh.


.jpg)