Papua: Warisan Militerisme yang Tak Kunjung Usai - Investigasi Warta Global

Mobile Menu

Pendaftaran

Klik

More News

logoblog

Papua: Warisan Militerisme yang Tak Kunjung Usai

Monday, 24 November 2025

Jayapura, 24 November 2025 , WartaGlobal. Id
 Konflik militer yang sudah berlangsung puluhan tahun di Papua terus meninggalkan luka mendalam dan mempersempit ruang demokrasi masyarakat setempat. 

Dalam catatan terbaru dari Presiden Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, Dr. A.G. Socratez Yoman, operasi militer yang dimulai sejak masa perebutan wilayah Papua hingga kini masih terus berjalan dengan intensitas yang tinggi.

Sejak tahun 2022, sejumlah operasi militer dan operasi kepolisian, seperti Operasi Damai Cartenz yang menggantikan Satgas Nemangkawi, terus diperkuat dengan penguatan pasukan di berbagai titik strategis seperti Paniai, Intan Jaya, dan Nduga. 

Hal ini, menurut jenderal TNI, sebagai langkah menyesuaikan strategi pengamanan Papua agar sama seperti wilayah lain di Indonesia.Namun di sisi lain, kehadiran militer dan polisi dalam jumlah besar di Papua menyisakan konflik sosial dan kemanusiaan yang berkepanjangan. Dr. Yoman mengungkapkan, perluasan markas militer dan kepolisian semakin merampas ruang hidup masyarakat asli Papua. Pembangunan markas seperti Polres Puncak menelan anggaran fantastis, yang menimbulkan pertanyaan sumber dana dan urgensinya bagi masyarakat lokal.Catatan tragis muncul, khususnya dari operasi militer di Nduga pada 2018-2020 yang dipicu perintah Presiden Joko Widodo untuk memburu kelompok bersenjata. Akibat operasi ini, ribuan warga asli Papua mengungsi ke hutan, puluhan meninggal karena bermacam sebab, dan pendidikan anak-anak terhenti.

 Kisah pilu seorang ibu melahirkan di tengah hutan dan harus berjuang menyelamatkan bayi di tengah situasi konflik mengungkapkan betapa berat penderitaan warga biasa di tengah eskalasi militerisme ini.Aktivis HAM dari Yayasan Keadilan dan Perdamaian Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem, melaporkan sejumlah insiden pelanggaran HAM oleh aparat keamanan termasuk penembakan mati terhadap beberapa warga sipil yang mayatnya dikuburkan secara massal.

Lebih jauh, Dr. Yoman menegaskan bahwa militerisme di Papua tak bisa dilepaskan dari sejarah kolonialisme dan kapitalisme, di mana intervensi militer juga menjaga kepentingan ekonomi, terutama pertambangan yang melibatkan perusahaan besar seperti Freeport.Dewan Gereja Papua, melalui surat gembala mereka, menyerukan pemerintah pusat untuk menghentikan status Daerah Operasi Militer (DOM) di Papua yang dianggap terus mengekang kebebasan demokrasi dan memperparah penderitaan rakyat Papua.

Polemik ini menunjukkan dilema antara keamanan negara dan hak-hak sipil masyarakat asli Papua, dimana eskalasi militer justru menghadirkan masalah baru dan memperpanjang durasi konflik serta kesenjangan sosial di wilayah tersebut.