
Jakarta, WartaGlobal.Id - Pasal 74a dalam RUU KUHAP Baru yang direncanakan berlaku pada Februari 2026 menuai kritik keras dari berbagai kalangan. Ketentuan yang mengatur mekanisme kesepakatan damai antara pelaku dan korban pada tahap penyelidikan ini dinilai membuka ruang gelap penyalahgunaan, bahkan berpotensi dimanfaatkan oknum tertentu untuk melakukan pemerasan.
Aturan ini memungkinkan para pihak melakukan perdamaian sebelum penyidik memastikan adanya tindak pidana. Dengan demikian, status pelaku dan korban dapat ditetapkan secara informal meski belum ada kesimpulan penyelidikan. Kondisi inilah yang disebut para pakar hukum sebagai “zona abu-abu” yang membahayakan kepastian hukum.
Kekhawatiran terbesar datang dari potensi penyimpangan oleh pihak-pihak yang memiliki akses terhadap informasi dan tekanan sosial, termasuk oknum wartawan. Dalih “tekdow berita” atau penurunan pemberitaan demi perdamaian dipandang dapat menjadi alat intimidasi terselubung bagi korban yang sebenarnya belum terbukti berada dalam sebuah perkara pidana. Ruang negosiasi yang terlalu longgar pada tahap pra-penyelidikan dianggap memberi insentif bagi praktik transaksional yang merusak marwah penegakan hukum maupun profesionalisme pers.

Sejumlah pengamat menilai Pasal 74a, meski membawa semangat restorative justice, justru menciptakan risiko lebih besar ketika dasar legalitas, batasan prosedur, dan perlindungan terhadap korban tidak diatur secara tegas. Mekanisme damai yang diperbolehkan sebelum kepastian tindak pidana dikhawatirkan mengaburkan peran penyidik serta menciptakan tekanan moral maupun ekonomi pada pihak yang lemah.
“Pasal ini bisa jadi pintu masuk penyalahgunaan, terutama bila aktor-aktor di luar penegak hukum ikut bermain. Restorative justice harus ditempatkan dalam kerangka hukum yang jelas, bukan di tahap ketika kebenaran faktual saja belum ditetapkan,” ujar seorang pakar hukum pidana yang enggan disebutkan namanya.
Red : Kapita


.jpg)