Ternate, Investigasi WartaGlobal : Skandal perizinan tambang kembali mencoreng wajah Maluku Utara. Sebanyak 13 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang tersebar di Halmahera Timur, Halmahera Tengah, dan Halmahera Selatan kini dipersoalkan keabsahannya. Dugaan IUP palsu ini menimbulkan gejolak serius karena diyakini melibatkan praktik mafia tambang yang merugikan negara sekaligus masyarakat lokal.
Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Maluku Utara, mengakui bahwa pemerintah provinsi telah menyerahkan sepenuhnya persoalan ini kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). “Pengusulan pembatalan oleh Pemprov Malut sudah menjadi dasar kuat bahwa kewenangan ada di pusat. Jadi, Pemprov tidak perlu cemas,” kata Bambang.
Namun, pernyataan ini tidak meredam keresahan masyarakat. Organisasi Masyarakat Sipil Lokal, Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Rakyat (AMPERA) Halmahera Timur, bahkan secara resmi meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan. Ketua AMPERA, Muhibu, menegaskan ada indikasi kuat 10 dari 13 IUP tersebut adalah bodong. “KPK harus hadir untuk mengusut praktik korupsi dan mafia tambang yang merajalela di Halmahera Timur,” tegasnya.
Menurut AMPERA, dari total 13 IUP bermasalah, 10 di antaranya berlokasi di Halmahera Timur. Temuan ini diperkuat dengan dokumen perizinan Dinas Pertambangan Halmahera Timur tahun 2015, yang menyebutkan bahwa 10 IUP tersebut tidak tercatat dalam dokumen resmi penyerahan perizinan ke Pemerintah Provinsi Maluku Utara. Dengan demikian, ada dugaan pemalsuan dokumen yang sistematis dan merugikan masyarakat lokal.
Nama-nama perusahaan yang terseret dalam skandal ini tidak main-main. Mulai dari PT Arumba Jaya Perkasa, PT Kasih Makmur Abadi (blok I-IV), PT Cakrawala Agro Besar, PT Harum Cendana Abadi (blok I-IV), PT Smart Marsindo, PT Aneka Niaga Prima, hingga PT Anugerah Multico. Sejumlah perusahaan ini tercatat beroperasi di Halmahera Timur, Halmahera Tengah, bahkan Halmahera Selatan.
Fakta bahwa beberapa perusahaan berstatus melakukan operasi produksi nikel, meski izin usaha dipersoalkan, menambah kecurigaan adanya pembiaran dari pihak berwenang. Bahkan, nama-nama direksi dan komisaris seperti Shanty Alda Nathalia, Citra Kharisma, hingga Edi Supriyanto disebut dalam dokumen perizinan yang kini disoal.
AMPERA mendesak KPK tidak hanya berhenti pada penyelidikan administratif, melainkan juga membongkar aktor utama di balik dugaan IUP palsu ini. “Kasus ini bukan sekadar kesalahan prosedur, tapi kejahatan yang merugikan negara. Mafia tambang harus ditindak tanpa pandang bulu,” ujar Muhibu.
Selain itu, AMPERA meminta KPK meneliti kembali Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Halmahera Timur karena koordinat lahan pertambangan yang tercantum sangat jelas. Mereka menduga ada praktik penyalahgunaan tata ruang yang berdampak langsung pada masyarakat. “Fakta di lapangan, masyarakat Halmahera Timur menanggung dampak lingkungan, sementara keuntungan justru mengalir ke pihak-pihak tertentu,” tambah Muhibu.
Skandal 13 IUP ini kian menegaskan lemahnya pengawasan pemerintah daerah. Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur dituding lalai dalam memastikan keabsahan izin usaha tambang, sehingga membuka ruang terjadinya praktik korupsi. Padahal, transparansi dan akuntabilitas perizinan menjadi kunci untuk mencegah kebocoran keuangan negara.
Kasus ini sekaligus menjadi ujian bagi komitmen pemberantasan korupsi di era Presiden Prabowo Subianto. Publik menunggu apakah KPK akan segera menindaklanjuti laporan masyarakat atau justru membiarkannya mengendap di meja birokrasi.
“Jika benar terbukti ada IUP palsu, KPK harus segera menindaklanjuti hingga ke tahap penindakan hukum. Jangan hanya berhenti pada kajian administratif. Mafia tambang harus dibongkar sampai ke akarnya,” pungkas Muhibu.
Jurnalis : Isbat Usman