Jakarta, Investigasi.WartaGlobal.Id – Skandal besar mengguncang lembaga tinggi negara. Aktivis muda Muhammad Fithrat Irfan, mantan staf ahli Senator DPD RI Rafiq Al-Amri, mengungkap praktik dugaan suap politik yang menyeret sedikitnya 95 senator dalam pemilihan pimpinan DPD RI dan Wakil Ketua MPR RI dari unsur DPD.
Dalam keterangannya kepada media (9/6), Irfan menegaskan, praktik kotor itu mencederai moralitas dan integritas lembaga perwakilan daerah. Demi menjaga kode etik jurnalistik, ia hanya membeberkan inisial dan daerah asal para senator terduga. Dari total 152 anggota DPD RI, 95 orang disebut terlibat dalam suap pemilihan pimpinan DPD RI, dan angka itu meningkat menjadi 96 orang saat pemilihan Wakil Ketua MPR RI.
Menurutnya, wilayah Papua mencatat jumlah tertinggi dengan 18 senator, disusul Sulawesi (14), Kalimantan (12), Sumatera (7), Riau dan Kepri (7), NTT–NTB (5), Banten–Jawa Barat (5), Maluku (4), Jawa Tengah (5), Bengkulu (2), serta masing-masing satu dari Jawa Timur dan DKI Jakarta.
“Mereka bukan hanya menerima uang, tapi juga jabatan—mulai dari Ketua Komite hingga Badan Kehormatan. Padahal mereka dipilih untuk mewakili rakyat, bukan kepentingan politik uang,” ujar Irfan tegas.
Skema Suap dan Lokasi Transaksi
Irfan membeberkan, untuk pemilihan pimpinan DPD RI, setiap suara dihargai USD 5.000. Sementara dalam pemilihan Wakil Ketua MPR RI dari unsur DPD, nilai suap naik menjadi USD 8.000 atau SGD 10.000 per suara. Pada putaran kedua, harga suara bahkan melonjak hingga SGD 100.000 sebagai bentuk barter dukungan bagi kandidat tertentu.
Lebih mencengangkan, transaksi itu disebut terjadi di toilet sisi kiri dan kanan Gedung Nusantara V, tempat sidang paripurna DPD berlangsung. Irfan juga menyebut adanya “pertarungan uang” antara anak menteri dan mantan menteri kelautan, serta keterlibatan aparat negara yang mestinya netral.
“Ini bukan sekadar pelanggaran etik, tapi penghancuran sistem demokrasi,” ujar Irfan.
Desak Komitmen Antikorupsi Presiden
Dalam pernyataannya, Irfan mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk menepati komitmen antikorupsi sebagaimana tertuang dalam Asta Cita No. 7, dan memperkuat agenda pemberantasan korupsi yang pernah ditegaskan dalam pidato kenegaraan pada 2 Juni 2025, bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila.
“Kami menagih janji Presiden. Dukung kami, anak muda, dalam memberantas korupsi tanpa pandang bulu,” tutup Irfan.
(Red "I/U")