Potong Nilai Kontrak? Modus CMT PT Vale Diduga Korbankan Karyawan - Investigasi Warta Global

Mobile Menu

Top Ads

Responsive Leaderboard Ad Area with adjustable height and width.

Tranding Nasional

🎉 Dirgahayu Republik Indonesia ke-80 — 17 Agustus 1945 - 17 Agustus 2025 🎉

More News

logoblog

Potong Nilai Kontrak? Modus CMT PT Vale Diduga Korbankan Karyawan

Thursday, 4 September 2025

Klik untuk tambah keterangan

Luwu Timur, Investigasiwartaglobal.id Polemik kebijakan sepihak PT Vale kembali menyeruak. Seorang karyawan kontraktor berinisial RO diduga menjadi korban keputusan kejam Contract Management Team (CMT) Vale. Sanksi pemblokiran akses selama satu tahun penuh dijatuhkan, meski proses investigasi belum selesai.

Kasus ini mencuat dalam mediasi di Kantor External PT Vale, Rabu (3/9), yang dihadiri pimpinan external Vale, perwakilan Divisi Security Service (DSS), serta jajaran CMT. Kehadiran LSM-GEMPA dan Forum Komunikasi Anak Lokal (FOKAL) sebagai pendamping membuka fakta yang lebih gelap: kebijakan ini tidak hanya merugikan pekerja, tetapi juga diduga menjadi skema sistematis untuk memangkas pembayaran kontrak subkontraktor.

RO sebelumnya bekerja di perusahaan kontraktor yang memenangkan tender pembuatan SWP. Kini, ia dikenakan sanksi pemblokiran akses di seluruh wilayah PT Vale selama setahun. Padahal, RO sudah tidak lagi bekerja di perusahaan itu dan saat ini berada di bawah kontraktor lain.

Ketua LSM-GEMPA, Fadel Anzar, mengecam keras langkah Vale yang dinilai tidak masuk akal.

“Penjualan SWP itu produk perusahaan, bukan ulah pribadi RO. Tapi justru karyawan yang dihukum, sementara perusahaannya tidak tersentuh. Akibatnya, RO kehilangan akses kerja, kehilangan penghasilan, dan jelas ini merugikan secara finansial,” tegas Fadel.

Bukan hanya kasus RO. Menurut LSM-GEMPA, ada pola yang lebih besar: CMT diduga menggunakan setiap persoalan sebagai dalih memotong invoice subkontraktor.

“Kami menduga ini sistematis. CMT selalu mencari kesalahan. Dari informasi yang kami himpun, setiap kesalahan akan berujung pada potongan invoice kontraktor, sekitar 0,1 hingga 0,2 persen dari nilai kontrak. Kalau dihitung, nilainya fantastis. Dan semua ini terjadi dengan alasan yang tidak jelas,” beber Fadel.

Dugaan tersebut memperkuat asumsi publik bahwa CMT Vale bukan sekadar pengawas kontrak, melainkan mesin yang bergerak dengan kepentingan tersembunyi.

Klik untuk tambah keterangan
Lebih ironis lagi, sanksi terhadap RO diputuskan meski investigasi kasus belum rampung. Dalam forum mediasi, perwakilan CMT bahkan tidak mampu menjawab jelas soal sanksi terhadap perusahaan subkontraktor pengguna SWP.

“Kalau sanksi untuk perusahaan, kami belum bisa bicara. Itu tergantung hasil investigasi,” jawab perwakilan CMT dengan gamang.

Ketika kembali ditekan, jawaban yang keluar hanya: “Belum tahu.”
Fakta ini menimbulkan pertanyaan besar: jika investigasi belum tuntas, atas dasar apa sanksi berat sudah dijatuhkan kepada karyawan?

Forum FOKAL menilai kebijakan sepihak ini sarat kepentingan. Ketua FOKAL, Risten P.A., menegaskan bahwa pola pemberian sanksi ini bukan hanya tidak profesional, tetapi juga mengabaikan hak-hak pekerja.

“Kami menerima banyak laporan dari karyawan yang dijatuhi sanksi sepihak oleh Vale, lalu kehilangan pekerjaan. Semua diputuskan sepihak, tanpa melibatkan instansi berwenang seperti Dinas Ketenagakerjaan. Ini tindakan semena-mena. Karena itu, kami menuntut agar CMT dibubarkan!” tegas Risten.

Menurut FOKAL dan LSM-GEMPA, kebijakan yang diterapkan Vale justru mengancam keberlangsungan sosial masyarakat pekerja lokal yang menggantungkan hidup pada kontraktor.

LSM-GEMPA bersama FOKAL memastikan akan menggelar demonstrasi besar-besaran sebagai bentuk protes. Mereka menilai CMT Vale sudah melampaui kewenangan, bahkan berpotensi melanggar hukum ketenagakerjaan.

“Kalau lembaga negara saja tidak dilibatkan, lalu atas dasar apa CMT seenaknya memberi sanksi? Ini keputusan liar. Kami akan turun ke jalan dengan massa besar untuk menuntut pembubaran CMT. Kami tidak akan diam melihat pekerja terus-menerus dijadikan kambing hitam,” pungkas Fadel.

Kasus RO membuka borok manajemen kontrak PT Vale. Sanksi sepihak, dugaan sistem pemotongan kontrak, dan lemahnya transparansi investigasi menimbulkan pertanyaan serius: apakah PT Vale masih mematuhi prinsip keadilan, atau justru membangun sistem represif yang merugikan pekerja dan subkontraktor lokal?

Masyarakat kini menanti langkah lebih tegas, baik dari instansi ketenagakerjaan, pemerintah daerah, maupun aparat penegak hukum, untuk mengawal kasus ini. Sebab, bila dibiarkan, praktik sewenang-wenang semacam ini berpotensi melahirkan ketidakadilan struktural yang jauh lebih besar.