![]() |
Foto lokasi Judi serdang bedagai diduga pindahan dari pasar 7 marelan |
Deli Serdang,INVESTIGASI SUMUT - Di tengah denyut pasar tradisional yang ramai, terselubung sebuah ironi. Arena perjudian ilegal yang populer disebut “Las Vegas Marelan” berdiri megah di Pasar 7, Desa Manunggal, Kecamatan Labuhan Deli, Kabupaten Deli Serdang. Tempat ini bukan sekadar lapak judi, tetapi sebuah “kerajaan” hitam yang disebut-sebut menghasilkan perputaran uang miliaran rupiah setiap bulan.
Di lokasi itu, perjudian berlangsung nyaris tanpa rasa takut. Dadu samkwan, roulette, baccarat, hingga tembak ikan beroperasi leluasa. Para penjudi datang silih berganti, seakan yakin bahwa tempat tersebut kebal dari penindakan hukum.
Pengamanan menjadi kunci. Setiap sudut dijaga pria berbadan tegap, sebagian berloreng, sebagian berpakaian bebas. Mereka bukan hanya pengawas, melainkan “gerbang” yang menentukan siapa boleh masuk dan siapa harus pulang. Warga yang mencoba mendekat langsung dicecar pertanyaan menusuk: “Mau ke mana? Apa urusanmu? Siapa yang kau cari?” Keberanian mendekati arena judi ini bukan untuk semua orang.
Tim media yang mencoba menelusuri lokasi pun mengalami kesulitan. Penjagaan yang terorganisir rapat membuat akses nyaris tertutup. Namun, informasi dari masyarakat sekitar menyingkap banyak hal: lokasi ini sudah berulang kali ditutup usai protes dan demo warga, tetapi selalu kembali buka hanya dalam hitungan hari.
“Kalau tidak ada yang melindungi, mana mungkin judi sebesar ini bisa bertahan lama,” ungkap L, seorang warga yang ditemui pada Jumat, 12 September 2025.
Lebih mencengangkan, di dalam arena tersedia kotak infak khusus. Bukan untuk amal, melainkan untuk mengumpulkan dana yang kelak digunakan ketika aparat datang. Dengan cara ini, suasana tetap “aman,” seolah ada mekanisme barter antara uang dan pembiaran.
Warga juga menyebut nama Aseng K, sosok yang diyakini menjadi otak sekaligus pengelola jaringan judi besar ini. Jejaknya tidak hanya di Marelan, tetapi juga merambah Medan, Binjai, Tebing Tinggi, Kisaran, Rantau Prapat, Pematang Siantar, bahkan hingga Riau. Skala besar ini membuat masyarakat yakin bahwa ada tangan-tangan kuat di belakangnya.
Ironisnya, lokasi perjudian ini berdiri persis di belakang lapangan bola yang masuk wilayah hukum Polres Labuhan Belawan. Fakta itu menimbulkan tanda tanya besar: apakah aparat benar-benar tidak tahu, atau justru sengaja membiarkan?
![]() |
Peralatan Judu |
Sebagian warga mengaku menerima “bantuan sembako” bulanan dari pengelola. Strategi ini seakan menjadi tameng sosial untuk meredam penolakan. Namun, dampak buruk tetap merusak: anak muda kecanduan, ekonomi keluarga hancur, dan kriminalitas meningkat.
“Kalau judi dibiarkan, habislah generasi muda di kampung ini. Banyak yang sudah jadi pecandu, bahkan rela menjual barang di rumah hanya untuk bermain. Anehnya, aparat seolah tutup mata,” ujar warga lain dengan getir.
Kondisi ini menggambarkan wajah gelap penegakan hukum di Sumatera Utara. Di atas kertas, perjudian jelas dilarang. Namun di lapangan, hukum bisa dilumpuhkan oleh tumpukan uang haram. Suara rakyat kecil yang menolak perjudian seolah tak berdaya di hadapan kekuatan uang dan pengaruh.
Masyarakat Marelan kini menaruh harapan besar kepada Kapolda Sumut hingga Kapolri. Mereka ingin bukti nyata, bukan razia seremonial yang hanya menutup sementara. Penindakan harus tegas dan permanen, demi menjaga masa depan generasi muda dan menegakkan keadilan.
“Kalau polisi sungguh-sungguh, arena ini bisa hilang dalam sekejap. Tapi kalau masih dibiarkan, artinya memang ada sesuatu yang mereka sembunyikan,” tutup L dengan nada penuh kekecewaan.