
INVESTIGASI. — Konflik agraria kembali mencuat di Kabupaten Halmahera Selatan. Kali ini, sorotan tajam tertuju pada pihak Bandar Udara Kelas III Oesman Sadik yang beroperasi di Desa Marabose, Kecamatan Bacan. Bandar udara yang selama ini menjadi gerbang transportasi utama ke wilayah selatan Pulau Halmahera itu diduga telah menyabotase lahan milik warga tanpa proses hukum yang sah.
Tanah seluas 35.015 meter persegi milik keluarga Musa Lauri telah dikuasai secara sepihak sejak tahun 2019 untuk kepentingan proyek perluasan landasan pacu bandara. Namun, hingga hari ini, pihak pemilik tanah tidak pernah menerima sepeserpun ganti rugi, kompensasi, atau bentuk transaksi jual beli yang sah. Labuha, 12 Juni 2025.
“Kami tidak ingin langsung membawa persoalan ini ke ranah pidana atau perdata. Oleh karena itu, hari ini kami layangkan somasi terlebih dahulu,” ujar Safri Nyong, S.H., kuasa hukum keluarga Musa Lauri, usai mengirimkan somasi kepada Kepala Kantor Unit Penyelenggara Bandar Udara Kelas III Oesman Sadik Labuha.
Somasi ini menurut Safri, merupakan langkah awal untuk meminta kejelasan serta kepastian hukum atas hak tanah kliennya yang hingga kini dikuasai tanpa dasar. Dalam somasi tersebut, diuraikan kronologi dan fakta hukum yang menunjukkan bahwa pada tahun 2019 hingga 2020 telah dilakukan pengukuran dan peninjauan lokasi oleh pihak pemerintah daerah bersama Dirjen Perhubungan Udara dan pengelola bandara.
Dalam proses tersebut, keluarga Musa Lauri selaku pemilik lahan turut diminta untuk menyerahkan dokumen-dokumen kepemilikan kepada Bidang Aset Daerah sebagai bagian dari syarat pengurusan ganti rugi. Anehnya, setelah dokumen diberikan, tidak ada kejelasan lanjutan mengenai pembayaran kompensasi.
“Yang membuat kami heran, beberapa pemilik tanah lain seperti Haji Husein dan Helmi Abusama—yang notabene mantan Sekda Halmahera Selatan—sudah menerima ganti rugi. Tapi kenapa klien kami tidak? Ini jelas mencerminkan ketidakadilan,” lanjut Safri.
Ia menduga kuat ada praktek mafia tanah atau tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Hal ini menurutnya sejalan dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian kepada orang lain harus diganti rugi.
Selain tidak adanya transparansi dalam proses, pihak keluarga juga merasa dirugikan secara ekonomi karena lahan yang sebelumnya digunakan untuk perkebunan kini tak bisa lagi dimanfaatkan. “Tanah itu dulunya dipakai untuk menanam cengkeh dan pala. Sekarang tidak bisa apa-apa. Klien kami kehilangan sumber penghasilan utama mereka,” tegasnya.
Tim kuasa hukum memberi batas waktu 3 x 24 jam kepada pihak pengelola bandara untuk merespons somasi ini. Bila tidak diindahkan, maka mereka menyatakan siap menempuh jalur hukum baik secara pidana maupun perdata.
Safri juga menekankan pentingnya kesetaraan perlakuan terhadap semua pemilik lahan. “Jangan hanya karena seseorang punya jabatan atau kedekatan dengan kekuasaan, haknya langsung diurus. Sementara rakyat biasa seperti Musa Lauri justru dipinggirkan,” tambahnya.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Bandar Udara Kelas III Oesman Sadik belum memberikan pernyataan resmi terkait somasi tersebut. Awak media yang mencoba menghubungi pihak pengelola bandara belum mendapat tanggapan.
Kasus ini menambah daftar panjang konflik tanah antara warga dan institusi negara di Halmahera Selatan. Banyak pihak berharap agar pemerintah pusat maupun daerah segera turun tangan, agar konflik tidak semakin meluas dan berujung pada tindakan hukum yang lebih keras.
Masyarakat sekitar pun mulai bersuara. Beberapa tokoh warga menyatakan dukungan terhadap langkah hukum keluarga Musa Lauri. Mereka menilai penting untuk mengedepankan keadilan dan menghormati hak kepemilikan warga, terlebih jika menyangkut proyek strategis seperti perluasan bandara.
“Kalau negara saja tidak menghargai hak rakyat, bagaimana rakyat bisa percaya pada hukum?” ujar seorang tokoh masyarakat di Marabose yang enggan disebutkan namanya.
Somasi ini menjadi ujian bagi integritas institusi pemerintah dalam menangani persoalan agraria. Apakah akan menyelesaikannya secara adil atau justru membiarkannya menjadi preseden buruk bagi proyek-proyek pembangunan ke depan? Waktu yang akan menjawab.
Redaksi: wan
KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment