
Pada 3 Juni 2025, ketika kembali diminta klarifikasi lanjutan terkait penggunaan dana desa dan penyertaan modal BUMDes, kepala desa justru mengirimkan tautan berita berjudul:
"HS Oknum Wartawan Jadi-jadian, Kadang Mengaku Dari Lembaga Kadang Dari PERS, Lakukan Pemerasan."
Setelah ditelusuri, berita tersebut telah dinyatakan hoaks dan diklarifikasi oleh pihak yang disebut. Tidak pernah ada unsur pemerasan ataupun pengakuan palsu dari Oknum wartawan yang dimaksud. Bahkan klarifikasi tertulis dari lembaga terkait menyebut bahwa terjadi miskomunikasi, dan tuduhan terhadap wartawan tidak berdasar.
Tindakan Oknum kepala desa tersebut dinilai oleh kalangan pers dan publik sebagai:
Upaya pengalihan isu dari dugaan penyelewengan dana desa, dan
Pelecehan terhadap profesi wartawan yang sedang menjalankan tugas konfirmasi sesuai dengan Pasal 6 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Oknum Wartawan yang dimaksud menyampaikan keberatan resmi atas penyebaran berita bohong tersebut, dan menyebut bahwa nama baiknya telah dicemarkan secara terbuka, tanpa dasar hukum, serta dilakukan oleh pejabat publik yang seharusnya bersikap kooperatif.
Tindakan penyebaran berita palsu yang menyerang reputasi pribadi, terlebih kepada seorang jurnalis, dapat dijerat dengan berbagai pasal dalam hukum Indonesia:
1. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers
Pasal 4 ayat (3): "Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi."
Pasal 18 ayat (1): "Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang menghambat atau menghalangi pelaksanaan kerja jurnalistik... dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000."
2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Pasal 310 ayat (1): "Barang siapa menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal... dihukum karena pencemaran nama baik..."
Pasal 311: Jika tuduhan tersebut dilakukan dengan maksud menyiarkan, maka dapat dikenai pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
3. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Nomor 19 Tahun 2016
Pasal 27 ayat (3): "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pencemaran nama baik."
Ancaman pidana: Penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750.000.000.
Tanggung Jawab Pejabat Publik Atas Ucapan dan Tindakannya
Sebagai kepala desa yang memegang jabatan struktural dan anggaran publik, tindakan Ahmad Tang Suki mengedarkan konten berita yang sudah diklarifikasi sebagai tidak benar, dianggap sebagai pelanggaran etika dan hukum. Pejabat publik memiliki tanggung jawab untuk bersikap terbuka, transparan, dan tidak menyebarkan informasi bohong yang bisa memicu konflik atau merugikan pihak lain.
Sejumlah pihak mendorong agar:
Laporan resmi pencemaran nama baik dilayangkan ke Polres Bone atau Polda Sulsel,
Dewan Pers melakukan kajian terhadap tindakan penghalangan kerja jurnalistik, dan
Aparat hukum menindaklanjuti laporan dugaan korupsi dan intimidasi terhadap wartawan.
Kasus di Desa Tarasu kini menjadi perhatian publik bukan hanya karena dugaan korupsi dana desa, tetapi juga karena pengabaian terhadap etika hukum dan prinsip demokrasi, termasuk upaya membungkam wartawan dengan cara tidak bermartabat.
Pemerintah dan aparat penegak hukum dituntut tidak hanya mengusut dana desa, tetapi juga melindungi kerja jurnalistik yang sah sebagai pilar demokrasi.
(Tim redaksi)
KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment