
Bone, investigasi warta global.id. Sulawesi Selatan.
— Sejumlah proyek desa yang dibiayai dana desa di Desa Tarasu, Kecamatan Kajuara, Kabupaten Bone, diduga tidak berjalan semestinya. Berdasarkan data resmi dari aplikasi OMSPAN milik Kementerian Keuangan, tercatat anggaran besar telah dikucurkan untuk berbagai kegiatan pembangunan sejak tahun 2018 hingga 2024.
Namun, laporan masyarakat menyebut banyak proyek tersebut tidak terealisasi secara nyata di lapangan.
Berdasarkan data yang dihimpun, berikut rincian sebagian anggaran yang diduga bermasalah:
2018: Drainase dan limbah rumah tangga (Rp 107 juta), jamban umum (Rp 86 juta), penyertaan modal BUMDes (Rp 25 juta).
2019: Fasilitas PAUD, TPQ, Madrasah (Rp 324 juta), jamban umum (Rp 149 juta), penyertaan modal BUMDes (Rp 132 juta).
2020: Prasarana jalan desa seperti selokan dan gorong-gorong (Rp 94 juta).
2021–2022: Dana keadaan mendesak total hampir Rp 1 miliar, penyertaan modal BUMDes kembali dilakukan (Rp 161 juta), dan proyek peternakan (Rp 159 juta).
2023–2024: Pengerasan jalan, drainase, kandang ternak, dan lampu tenaga surya kembali dibiayai dengan anggaran yang cukup besar (total lebih dari Rp 600 juta).
Namun berdasarkan keterangan warga setempat, sebagian besar proyek tersebut tidak tampak hasilnya secara fisik, dikerjakan tidak maksimal, atau fiktif. Termasuk penyertaan modal BUMDes yang disebut tidak pernah menunjukkan aktivitas usaha atau manfaat langsung bagi masyarakat.
Saat dikonfirmasi pada 2 Juni 2025, Oknum Kepala Desa Tarasu, (ATS), menyampaikan sejumlah pernyataan melalui pesan WhatsApp yang menunjukkan adanya upaya melempar tanggung jawab kepada pihak pengelola BUMDes. Ia menyebut bahwa pihak desa hanya bertugas menyerahkan dan mentransfer dana, tanpa mengatur teknis pelaksanaan.
Beberapa kutipan dari pesan WhatsApp kepala desa antara lain:
“Kalau bisa saudaraku datangpa dari Makassar, tapi kalau tidak kukasiki no pengelola BUMDes kita ketemu langsung.”
“Siapa tahu ada indikasi temuan di BUMDes, minta tolong bantu pengelola karena kita pemerintah desa cuma kasih bukti penyerahan dan bukti transfer saja.”
Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan publik terkait tanggung jawab kepala desa sebagai pemegang kuasa anggaran.
Pada 3 Juni 2025, ketika diminta klarifikasi lanjutan, kepala desa justru mengirimkan tautan sebuah berita berjudul:
“HS Oknum Wartawan Jadi-jadian, Kadang Mengaku dari Lembaga Kadang dari PERS, Lakukan Pemerasan.”
Namun setelah dilakukan penelusuran, berita tersebut telah diklarifikasi oleh pihak-pihak yang disebut dan dinyatakan sebagai hasil miskomunikasi. Tidak ada unsur pemerasan, dan nama wartawan yang disebut telah dibersihkan melalui klarifikasi resmi.
Tindakan kepala desa menyebarkan berita tidak benar kepada pihak yang sedang menjalankan tugas konfirmasi publik, dianggap sebagai bentuk pengalihan isu dan mencemarkan profesi wartawan.
Potensi Pelanggaran Hukum
Apabila terbukti terdapat penyimpangan, sejumlah regulasi yang dapat dikenakan antara lain:
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang mengatur wewenang dan kewajiban kepala desa dalam mengelola dana.
UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terutama dalam hal kerugian keuangan negara.
UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, terkait dugaan pencemaran nama baik terhadap profesi wartawan.
UU ITE No. 11 Tahun 2008 jo. UU No. 19 Tahun 2016, dalam hal penyebaran berita bohong atau pencemaran melalui media elektronik.
Mengingat besarnya jumlah dana yang telah dialokasikan dan munculnya berbagai indikasi pelanggaran, publik mendesak agar:
Inspektorat Kabupaten Bone,
BPKP Sulawesi Selatan,
Kejaksaan Negeri Bone,
dan Aparat Penegak Hukum lainnya
segera melakukan audit investigatif terhadap penggunaan dana desa di Desa Tarasu, termasuk memeriksa aliran dana penyertaan modal BUMDes dan item “keadaan mendesak” yang nilainya sangat besar namun tidak jelas realisasinya.
Kasus Desa Tarasu membuka kembali pentingnya pengawasan ketat terhadap dana desa yang setiap tahunnya terus meningkat. Tanpa akuntabilitas dan transparansi, dana publik rawan disalahgunakan, dan kepala desa sebagai pejabat publik tidak bisa berlindung di balik pengelola teknis atau alasan “hanya transfer dana”.
Investigasi ini akan terus dikembangkan dengan dokumentasi tambahan, termasuk pelacakan fisik lokasi proyek dan audit sosial bersama warga desa.
*HMs*.
KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment