
Kalbar.INVESTIGASI.WARTAGLOBAL.id-- Pontianak, KKN, tiga huruf yang telah meluluhlantakkan negeri: Korupsi, Kolusi, Nepotisme.
Tiga kata pendek ini membunuh harapan jutaan anak bangsa, memiskinkan rakyat, dan menampar akal sehat hukum di negeri ini. Ketika pelaku korupsi dibebaskan, hukum tak lagi bermakna. KUHAP bukan lagi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tapi mulai diolok publik sebagai Kasih Uang Habis Perkara, bahkan Kurang Uang Harus Penjara.
Dan kini, keadilan benar-benar “dikubur hidup-hidup” di bumi Kalimantan Barat.
Putusan Bebas yang Menghebohkan
Keputusan mengejutkan datang dari Pengadilan Tinggi (PT) Pontianak.
Majelis hakim yang diketuai Pransis Sinaga, bersama Tri Andita Juristiawati dan Dwi Jaka Susanta, membatalkan vonis 10 tahun penjara terhadap Paulus Andy Mursalim, terdakwa kasus korupsi miliaran rupiah yang sempat mengguncang publik Kalbar. Tak hanya membebaskan Paulus, majelis juga memerintahkan pengembalian seluruh aset dan barang bukti, termasuk tanah dan bangunan ruko strategis di Jalan Pahlawan, Gang Hidayat, dan Gang Tunas Bakti, Pontianak.
Semuanya dikembalikan. Lengkap. Bersih. Seolah tidak pernah ada dosa hukum sedikit pun.
Dari Vonis Berat ke Bebas Murni
Padahal sebelumnya, pada 3 September 2025, majelis hakim Pengadilan Tipikor PN Pontianak memvonis Paulus 10 tahun penjara, denda Rp500 juta, dan uang pengganti Rp31,47 miliar.
Bahkan, jika uang pengganti tidak dibayar, hartanya disita dan ia wajib menjalani tambahan 5 tahun penjara.
Namun, tiba-tiba semua itu lenyap dalam satu putusan singkat di tingkat banding.
“Tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah,” begitu bunyi amar putusan PT Pontianak yang kini menjadi pusat perhatian nasional.
Pengamat Hukum: “Ini Pembunuhan terhadap Keadilan!”
Ketika dimintai tanggapannya, Dr. Didi Sungkono, S.H., M.H., pengamat hukum sekaligus dosen hukum senior, menyampaikan kritik keras.
“Ini sangat miris dan memprihatinkan. Dari vonis puluhan tahun bisa bebas murni, ini bukan sekadar janggal — ini penghinaan terhadap keadilan,” ujarnya tajam.
“Harusnya diperberat, bukan dibebaskan! Semua aset dikembalikan, ini tanda matinya keadilan di negeri ini.”
Didi juga menyoroti bahwa pasal yang dikenakan kepada Paulus sudah jelas: UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tipikor.
“Vonis PN sudah berdasar hukum yang kuat, harusnya diperkuat, bukan dihancurkan. Ada yang tidak beres di sini, dan ini patut diduga bukan sekadar kelalaian,” tambahnya.
Publik Marah, Bau Busuk Tercium
Masyarakat pun geger.
Aroma tidak sedap menyeruak dari balik gedung megah peradilan.
Transparansi hukum kembali tercoreng. Independensi hakim kini dipertanyakan.
Apalagi, jaksa penuntut umum sebelumnya menuntut 16 tahun penjara, denda Rp750 juta, dan uang pengganti Rp39,86 miliar, namun semuanya kini sirna begitu saja.
“Kalau kasus besar seperti ini bisa bebas murni, apa kabar keadilan untuk rakyat kecil?” ujar salah satu pakar hukum Universitas Tanjungpura yang enggan disebut namanya.
“Ini bukan perkara ringan, kerugian negara puluhan miliar. Kalau bisa berubah drastis seperti ini, publik berhak curiga, ada apa di balik semua ini?”
Kasasi Harga Mati
Didi Sungkono menegaskan bahwa kejaksaan harus segera mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
"Jangan sampai pelaku kabur ke luar negeri. Rakyat 100% akan mendukung langkah hukum Kejati Kalbar. Jangan biarkan koruptor tertawa di atas penderitaan rakyat,” tegasnya.
Evaluasi Hakim Pengadilan Tinggi
Suara publik kini satu: Majelis hakim PT Pontianak harus diperiksa.
"Putusan ini mencederai rasa keadilan bangsa. Majelis hakim harus dievaluasi menyeluruh, karena mereka bukan hanya memutus perkara, tapi juga menodai kepercayaan rakyat terhadap lembaga peradilan,” pungkas Didi.
Cermin Buram Penegakan Hukum
Kasus Paulus Andy Mursalim adalah potret suram wajah hukum di Indonesia.
Ketika putusan bebas keluar tanpa penjelasan transparan, ketika koruptor bisa keluar dari jerat hukum seolah tak bersalah, maka hukum tak lagi menjadi panglima, tapi menjadi komoditas.
Hingga berita ini diturunkan, pihak Kejati Kalbar belum menyampaikan sikap resmi apakah akan menempuh kasasi atau menyerah terhadap putusan tersebut.
Namun satu hal pasti:
Rakyat tidak buta, rakyat tidak tuli.
Dan rakyat sedang marah.
Editor : Tim Red WGR
KALI DIBACA


.jpg)