
INVESTIGASI — Obi, 13 September 2025 | Polemik terkait penjualan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis minyak tanah kembali mencuat di Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan. Masyarakat menyoroti praktik penjualan yang penuh dengan kejanggalan, mulai dari harga yang dijual jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah hingga pendistribusian yang tidak tepat sasaran. Persoalan ini pun menimbulkan pertanyaan besar: siapa yang seharusnya bertanggung jawab atas kekacauan ini?
Seperti diketahui, pemerintah telah menetapkan HET minyak tanah bersubsidi di wilayah Maluku Utara sekitar Rp5.000 per liter. Namun, kenyataannya di lapangan sangat jauh berbeda. Beberapa pemilik pangkalan di Obi menjual minyak tanah dengan harga Rp7.000, bahkan ada yang mencapai Rp10.000 per liter. Salah satunya pangkalan minyak tanah SINAR JAYA milik salah satu pengusaha yang akrab disapa Inya, yang dengan terang-terangan mengaku menjual dengan sistem berbeda.
"Kalau beli pakai kupon Rp7.000, tapi kalau tidak ada kupon harganya Rp10.000. Bulan ini saja minyak masuk sekitar 10 ton,” jelas Inya, pemilik salah satu pangkalan minyak tanah di Obi.
Alasan yang disampaikan para pemilik pangkalan adalah takut mengalami kerugian akibat minyak yang diterima dari kapal kerap mengalami penyusutan. Namun, alasan ini dinilai tidak masuk akal bagi sebagian masyarakat. Mereka menilai praktik ini hanyalah bentuk penyalahgunaan kesempatan yang akhirnya merugikan warga kecil.
Seorang warga Obi yang dijumpai saat mengantri mengaku tidak tahu persis berapa harga resmi yang ditetapkan pemerintah. Namun, ia mengeluhkan harga yang berlaku di lapangan hingga saat ini masih sangat memberatkan. “Saya tara tahu berapa harga sebenarnya, tapi sampai sekarang saya beli masih di harga Rp7.000,” ucapnya.
Kondisi ini semakin memperlihatkan bahwa minyak tanah bersubsidi yang seharusnya menjadi hak masyarakat malah dimonopoli oleh oknum tertentu. Bahkan, minyak bersubsidi itu seringkali disalurkan untuk kepentingan bisnis, bukan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga masyarakat kecil.
Keluhan serupa juga disampaikan warga lainnya. Menurutnya, apabila seluruh pangkalan di Obi mematuhi aturan dan benar-benar menjual sesuai ketentuan, maka seharusnya tidak ada masyarakat yang kesulitan memperoleh minyak tanah.
“Kalau pangkalan-pangkalan ini mengikuti aturan, seharusnya seluruh masyarakat Obi terpenuhi kebutuhan minyak tanahnya. Namun kenyataannya, sampai sekarang masih banyak masyarakat Obi yang kesusahan mendapatkan minyak tanah sesuai HET pemerintah,” ungkapnya.
Dari data yang berhasil dihimpun tim media, jumlah minyak tanah yang masuk ke lima desa di Kecamatan Obi setiap bulan berkisar antara 40 hingga 60 ton. Jumlah ini seharusnya lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat Obi. Namun, fakta di lapangan berbeda jauh: masih banyak masyarakat yang mengeluhkan sulitnya mendapatkan minyak dengan harga sesuai aturan.
Persoalan ini menimbulkan dugaan bahwa ada pihak-pihak tertentu yang sengaja memberikan ruang terhadap praktik-praktik penyelewengan. Minimnya pengawasan dari aparat berwenang, baik pemerintah daerah maupun lembaga pengawas distribusi BBM, semakin memperparah keadaan. Situasi ini kemudian membuka celah terjadinya permainan harga dan distribusi di lapangan.
Masyarakat pun mempertanyakan sejauh mana keseriusan pemerintah dalam memastikan distribusi BBM bersubsidi benar-benar tepat sasaran,terutama pemerintah Kecamatan. Apalagi minyak tanah hingga saat ini masih menjadi kebutuhan utama sebagian besar rumah tangga di Obi, baik untuk memasak maupun kebutuhan harian lainnya.
Jika dibiarkan, persoalan ini bukan hanya akan merugikan masyarakat kecil, tetapi juga berpotensi menimbulkan ketidakadilan sosial yang lebih luas. Subsidi yang semestinya menjadi jaring pengaman ekonomi bagi masyarakat menengah ke bawah, justru dinikmati oleh segelintir pihak yang tidak bertanggung jawab.
Dengan kondisi ini, wajar bila muncul pertanyaan besar dari masyarakat: siapa yang sebenarnya harus bertanggung jawab? Apakah pemerintah daerah yang dianggap lalai mengawasi, aparat penegak hukum yang terkesan menutup mata, ataukah para pemilik pangkalan yang memanfaatkan situasi demi keuntungan pribadi?
Masyarakat Obi kini menunggu langkah nyata dari pihak berwenang. Transparansi distribusi, pengawasan ketat terhadap pangkalan, hingga penindakan tegas terhadap pelanggaran perlu segera dilakukan. Jika tidak, maka skandal minyak tanah di Obi hanya akan menjadi bukti nyata betapa lemahnya tata kelola distribusi BBM bersubsidi di daerah ini.
Reporter : Faldi Usman