Skandal Pencurian Ribuan Ban Bekas di Kawasi: Nama Kepala Desa Dicatut, Oknum Security dan TNI Diduga Terlibat dan menjadi aktor dan otak dari kejahatan ini. - Investigasi Warta Global

Mobile Menu

Top Ads

Responsive Leaderboard Ad Area with adjustable height and width.

Tranding Nasional

🎉 Dirgahayu Republik Indonesia ke-80 — 17 Agustus 1945 - 17 Agustus 2025 🎉

More News

logoblog

Skandal Pencurian Ribuan Ban Bekas di Kawasi: Nama Kepala Desa Dicatut, Oknum Security dan TNI Diduga Terlibat dan menjadi aktor dan otak dari kejahatan ini.

Friday, 19 September 2025

Penimbunan Terang-terangan

Halmahera Selatan, Investigasi Malut - Dugaan praktik pencurian ribuan ban bekas dump truck (DT) milik perusahaan tambang nikel di Kawasi, Pulau Obi, terus menyeruak dan menimbulkan kegaduhan besar. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ribuan ban bekas yang semestinya dianggap limbah dan ditangani sesuai aturan, justru ditimbun secara masif di pinggiran pantai, untuk kemudian dijual ke pihak luar dengan harga tinggi.

Data sementara menyebutkan, jumlah ban bekas yang ditimbun mencapai 4.000 hingga 5.000 unit. Dari jumlah itu, sekitar 1.000 ban sudah berhasil diangkut menggunakan kapal penisi (barebo) dari kawasan Hol Sagu. Setiap ban dipatok harga Rp200 ribu, sehingga nilai ekonomi dari penjualan ilegal ini ditaksir bisa mencapai miliaran rupiah.

Nama Kepala Desa Dicatut

Ironisnya, dalam menjalankan aksinya, para pelaku berusaha mencari legitimasi dengan membawa-bawa nama Kepala Desa Kawasi, Arifin. Modus ini digunakan untuk menutupi praktik ilegal seakan-akan telah mendapat restu dari pemerintah desa.

Namun, saat dikonfirmasi langsung, kepada orangnya Pak Arifin membantah keras tuduhan tersebut. Ia menegaskan bahwa pencatutan nama kepala desa adalah fitnah yang mencoreng kehormatan sebagai pemimpin desa.

“Saya tegaskan, itu tidak benar. Nama Pak arifin dicatut seolah-olah kepala desa yang mengizinkan penjualan ban bekas. Padahal tidak ada keputusan resmi apa pun. Memang ada pembicaraan dengan perusahaan terkait penanganan ban bekas, tetapi tidak pernah sampai pada kesepakatan untuk menjualnya. Yang terjadi sekarang murni ilegal,” ungkap orangnya kepala desa dengan nada tegas.

Bagi pemerintah desa, kasus ini bukan sekadar pencurian aset perusahaan, tetapi juga telah mencederai wibawa pemerintah desa karena namanya digunakan untuk melegalkan kejahatan.

Ribuan Ban Bekas di kawasi secara ilegal

Dugaan Keterlibatan Aparat

Lebih jauh, sumber terpercaya dari lingkungan desa menyebutkan bahwa aksi penimbunan dan penjualan ban bekas tidak mungkin dilakukan tanpa dukungan orang dalam. Dugaan kuat mengarah pada keterlibatan oknum security perusahaan dan aparat TNI yang bertugas di lokasi tambang Kawasi.

“Setelah kami kroscek, penimbunan ban bekas ini memang ilegal. Dan yang lebih mengejutkan, ada indikasi keterlibatan oknum keamanan, baik dari pihak security maupun TNI. Mereka diduga ikut bermain di balik penjualan ini,” beber salah satu orang dekat Kepala Desa Kawasi.

Jika benar keterlibatan aparat keamanan terbukti, hal ini merupakan pelanggaran serius. Sebab, aparat semestinya menjadi garda terdepan dalam menjaga aset dan ketertiban di lingkungan tambang, bukan justru ikut mengamankan praktik ilegal.

Nilai Ekonomi dan Dampak Sosial

Dengan kisaran harga Rp200 ribu per ban, bisnis gelap ini memiliki nilai ekonomi yang sangat besar. Bayangkan, jika 5.000 ban berhasil dijual, keuntungan yang diraup bisa mencapai Rp1 miliar lebih. Bagi para pelaku, ini adalah ladang emas. Namun bagi perusahaan dan masyarakat, ini adalah bentuk perampokan terang-terangan.

Kasus ini juga menimbulkan keresahan sosial. Nama baik desa, khususnya Kepala Desa, dicoreng oleh praktik mafia yang menjadikan pencatutan identitas sebagai tameng. Masyarakat pun mulai resah karena aksi ini dianggap tidak hanya mencuri aset perusahaan, tetapi juga merusak tatanan moral dan hukum di Kawasi.

Tuntutan Penyelesaian

Gelombang desakan masyarakat agar kasus ini segera ditindaklanjuti semakin menguat. Mereka menilai perusahaan tambang harus segera bersikap tegas, tidak hanya dengan melakukan investigasi internal, tetapi juga melibatkan aparat penegak hukum untuk membongkar jaringan di balik pencurian ban bekas.

“Kejahatan ini harus dihentikan. Jangan sampai karena ada keterlibatan aparat, kasusnya ditutup-tutupi. Ini sudah merugikan perusahaan, merusak nama desa, dan menodai citra aparat itu sendiri. Kami menuntut penyelesaian secepatnya,” tegas sejumlah warga yang enggan identitasnya dipublikasikan.

Kasus penimbunan ban bekas ini kini menjadi perhatian serius di Kawasi. Publik menanti langkah nyata dari perusahaan, aparat penegak hukum, dan pemerintah daerah. Apakah mereka berani membongkar jaringan mafia ban bekas yang diduga melibatkan oknum dari dalam perusahaan hingga aparat berseragam, atau justru membiarkannya tenggelam dalam kompromi?

Yang jelas, skandal ban bekas Kawasi telah membuka tabir gelap bagaimana aset bernilai ekonomi tinggi bisa dijadikan bancakan oleh kelompok tertentu dengan mengorbankan nama baik pemimpin desa dan merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi keamanan.


Redaksi (UDM)