
Hal-Sel, INVESTIGASI. – Polemik ketidakhadiran Camat Kepulauan Joronga, Kabupaten Halmahera Selatan (Hal-Sel), Rahmatullah A. Rasay dalam tiga kali agenda Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi I DPRD Hal-Sel menuai kecaman dari berbagai pihak. Akademisi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Alkhairaat Labuha, Muhammad Kasim Faisal, M.Pd, angkat bicara dengan nada keras, menyoroti lemahnya sikap wakil rakyat dalam menyikapi persoalan tersebut.
Menurutnya, sikap abai seorang pejabat kecamatan terhadap panggilan resmi lembaga legislatif bukan hanya mencerminkan ketidakpatuhan terhadap aturan, tetapi juga mencederai marwah demokrasi dan mekanisme pengawasan. “Rahmatullah ini terkesan kebal hukum. Sudah ada dugaan pemotongan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) di kantornya, dipanggil secara resmi oleh DPRD sampai tiga kali pun tidak diindahkan. Anehnya, DPRD malah terkesan lemah dan tidak menunjukkan wibawa lembaga,” tegas Muhammad Kasim, Selasa, (9/9/2025).
Lebih lanjut, ia menilai, kondisi seperti ini bisa menjadi preseden buruk bagi roda pemerintahan daerah. Jika seorang camat bisa begitu saja mangkir tanpa konsekuensi, bukan tidak mungkin pejabat lain akan meniru sikap serupa.“Ini soal wibawa pemerintahan. DPRD sebagai lembaga pengawas tidak boleh diam. Kalau tidak ada tindakan tegas, masyarakat bisa menilai DPRD hanya macan kertas,” tambahnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi I DPRD Hal-Sel, Iksan U. Basrah, sudah pernah menindaklanjuti ketidakhadiran Camat Joronga dalam RDP. Ia mengungkapkan bahwa absennya Rahmatullah diduga kuat terkait persoalan pemotongan TPP sejumlah pegawai kantor camat. Namun, hingga pemanggilan ketiga, yang bersangkutan tetap tidak hadir dan memilih bungkam.
“Berdasarkan laporan yang kami terima, ada dugaan pemotongan TPP selama dua bulan, yakni Januari dan Februari, dengan nilai sekitar Rp600 ribu per pegawai. Hal ini jelas merugikan para pegawai, karena TPP merupakan hak mereka yang dilindungi aturan,” ujar Iksan beberapa waktu lalu.
Meski dugaan tersebut cukup serius, perkembangan kasusnya hingga kini seakan terhenti. Tidak ada kejelasan tindak lanjut, baik dari DPRD maupun pihak Inspektorat. Kondisi ini semakin memperkuat persepsi publik bahwa Rahmatullah dilindungi atau sengaja dibiarkan lolos dari proses pertanggungjawaban.
Kritik keras dari kalangan akademisi pun mencuat karena masyarakat menanti kejelasan penanganan kasus ini. Muhammad Kasim Faisal menegaskan bahwa DPRD seharusnya tidak berhenti hanya pada pemanggilan. Menurutnya, jika seorang pejabat publik tidak menghargai lembaga legislatif, maka langkah selanjutnya harus berupa rekomendasi tegas, baik kepada Bupati maupun aparat penegak hukum.
“DPRD itu punya fungsi kontrol. Kalau panggilan sudah tiga kali tidak diindahkan, harus ada konsekuensi. Jangan berhenti hanya dengan diam. Ini soal kredibilitas DPRD sendiri. Jika dibiarkan, maka masyarakat akan hilang kepercayaan,” Tutup Muhammad Kasim Faisal.
Redaksi: wan