JATAM Ungkap Gurita Bisnis Gubernur Maluku Utara: Konflik Kepentingan Menguat di Balik Konsesi Tambang Keluarga Laos-Tjoanda. - Investigasi Warta Global

Mobile Menu

Pendaftaran

Klik

More News

logoblog

JATAM Ungkap Gurita Bisnis Gubernur Maluku Utara: Konflik Kepentingan Menguat di Balik Konsesi Tambang Keluarga Laos-Tjoanda.

Friday, 31 October 2025

Gurita Bisnis Pertambangan Gubernur Maluku Utara

Ternate/MALUT, WartaGlobal.Id - Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) bersama Simpul JATAM Maluku Utara merilis laporan kritis bertajuk “Konflik Kepentingan di Balik Gurita Bisnis Gubernur Maluku Utara” pada Rabu (29/10). Laporan ini menyoroti konsentrasi kekuasaan dan bisnis ekstraktif keluarga Sherly Tjoanda sebelum dan setelah ia menjabat sebagai Gubernur Maluku Utara.

Dalam catatan JATAM, Sherly bukan sekadar figur politik, melainkan juga pebisnis tambang yang memiliki kendali atas sejumlah perusahaan yang menguasai lahan dan sumber daya alam di provinsi ini. Dukungan kebijakan pemerintahannya terhadap korporasi tambang dinilai kontras dengan penderitaan warga di lapangan yang menghadapi intimidasi, kriminalisasi, dan kehilangan ruang hidup akibat operasi industri ekstraktif di Maba Sangaji, Halmahera Timur, hingga Pulau Obi.

Narasi pertumbuhan ekonomi dua digit yang kerap dibanggakan, menurut JATAM, tidak sejalan dengan kenyataan di akar rumput. Dampak sosial dan ekologis semakin parah, sementara konflik agraria terus meluas. Kasus kriminalisasi warga Maba Sangaji serta penolakan masyarakat di Pulau Obi dan Halmahera menjadi bukti bahwa kepentingan korporasi lebih diutamakan dibandingkan perlindungan rakyat.

JATAM menemukan jejaring perusahaan keluarga Laos-Tjoanda yang luas, mencakup PT Karya Wijaya (tambang nikel di Gebe), PT Bela Sarana Permai (pasir besi di Wooi Obi), PT Amazing Tabara dan PT Indonesia Mas Mulia (emas), hingga PT Bela Kencana (nikel). Mayoritas saham dan jabatan penting dipegang oleh anggota keluarga Sherly, menandakan adanya potensi konflik kepentingan antara jabatan publik dan kepemilikan swasta.

Gunernur Maluku Utara Menguwasai Panggung Bisnis Pertambangan

Kepemilikan saham Sherly di PT Karya Wijaya meningkat signifikan pada akhir 2024, setelah menggantikan mendiang suaminya, Benny Laos. Sherly kini menguasai 71% saham, sementara sisanya dibagi kepada ketiga anaknya. Selain itu, ia juga tercatat memiliki 25,5% saham di PT Bela Group, induk dari berbagai entitas bisnis keluarga tersebut. Perusahaan-perusahaan ini menguasai ribuan hektare konsesi di Halmahera, Obi, hingga Gebe, dengan sebagian izin terbit bertepatan dengan masa kampanye Pilgub.

Temuan JATAM juga mengungkap adanya indikasi penyalahgunaan kewenangan. Beberapa izin pertambangan diduga diterbitkan tanpa proses lelang dan tanpa jaminan reklamasi, serta belum memenuhi persyaratan kehutanan (PPKH). Hal ini menimbulkan dugaan kuat adanya pelanggaran prosedural yang merugikan negara.

Di sisi lain, dampak ekologis dari aktivitas tambang keluarga Laos-Tjoanda kian terasa. Deforestasi di Obi, pencemaran air di Halmahera Selatan, dan krisis air bersih di sejumlah desa menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan lingkungan. Konflik antara warga dan perusahaan di Pulau Gebe menambah daftar panjang persoalan yang belum terselesaikan.

Dari sisi hukum, praktik rangkap jabatan dan kepemilikan saham oleh kepala daerah berpotensi melanggar Undang-Undang Administrasi Pemerintahan dan UU Pemerintahan Daerah. KPK juga menegaskan larangan konflik kepentingan bagi pejabat publik karena dapat menggerus kepercayaan masyarakat terhadap integritas pemerintahan.

“Kasus ini bukan hanya soal tambang, tetapi tentang penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran etika publik. Ketika pejabat publik juga menjadi pengusaha tambang, maka kebijakan publik berisiko menjadi alat legitimasi bisnis keluarga,” tegas Koordinator JATAM Nasional, Merah Johansyah.


KALI DIBACA