
Hal-Sel, INVESTIGASI. – Polemik pelantikan empat kepala desa oleh Bupati Halmahera Selatan, Hasan Ali Bassam Kasuba, menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Praktisi hukum sekaligus pemerhati kebijakan publik, Bambang Joisangadji, SH, menilai keputusan Bupati tersebut sebagai tindakan fatal yang berpotensi masuk kategori perbuatan melawan hukum. Rabu, 27/08/2025.
Menurut Bambang, persoalan ini bermula dari putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Ambon yang telah membatalkan keabsahan pemilihan empat kepala desa dimaksud. Dalam putusannya, PTUN menegaskan bahwa proses pemilihan kades tersebut cacat prosedur sehingga tidak memiliki dasar hukum yang sah. Dengan demikian, Surat Keputusan (SK) hasil pemilihan yang melahirkan empat nama kades itu dinyatakan batal demi hukum.
Namun yang mengejutkan, Bupati Hal-Sel justru melantik kembali empat kades yang sama, seolah-olah mengabaikan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan tetap. Tindakan ini, kata Bambang, jelas melawan hukum dan tidak bisa dibenarkan dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan yang taat asas.
“SK mereka sudah dibatalkan oleh PTUN Ambon dengan dasar cacat prosedur. Tetapi anehnya, Bupati tetap melantik orang yang sama. Ini jelas perbuatan melawan hukum, karena melawan putusan pengadilan,” tegas Bambang kepada wartawan.
Ia pun mempertanyakan motif di balik langkah politik hukum Bupati tersebut. “Apakah ini atas kesadaran pribadi Bupati, ataukah ada tekanan dari kelompok tertentu? Karena jelas, putusan PTUN bersifat final dan harus dipatuhi,” tambahnya.
Bambang menjelaskan, putusan PTUN memiliki kekuatan hukum yang final dan mengikat sesuai dengan Pasal 115 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang kemudian diperbarui dengan UU Nomor 51 Tahun 2009. Tidak hanya itu, Pasal 116 ayat (1) UU PTUN juga mengatur bahwa putusan yang telah berkekuatan hukum tetap wajib dilaksanakan oleh pejabat TUN yang bersangkutan.
“Putusan PTUN Ambon sifatnya final dan mengikat. Jika Bupati masih berkeras melantik, itu sama saja tidak menghormati lembaga peradilan. Ini preseden buruk dan bisa berimplikasi hukum serius terhadap Bupati sendiri,” tegasnya.
Menurut Bambang, tindakan tersebut berpotensi masuk dalam kategori onrechtmatige overheidsdaad atau perbuatan melawan hukum oleh penguasa. Jika terbukti dilakukan dengan sengaja, maka hal ini bisa digugat melalui mekanisme perdata maupun dilaporkan secara pidana, karena dianggap menghalangi eksekusi putusan pengadilan.
Lebih jauh, Bambang menyoroti konsekuensi dari Pasal 116 ayat (4) UU PTUN yang memberi ruang bagi penggugat untuk meminta eksekusi paksa melalui Ketua Pengadilan jika pejabat TUN tidak menjalankan putusan secara sukarela. “Artinya, masyarakat atau pihak yang dirugikan bisa langsung mengajukan permohonan eksekusi ke PTUN Ambon. Dalam praktiknya, pejabat yang membangkang bisa dikenai sanksi administratif bahkan pidana,” jelasnya.
Ia menilai, tindakan Bupati bukan hanya bentuk pelanggaran terhadap norma hukum, tetapi juga telah mencederai prinsip supremasi hukum dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan desa. “Ini menyangkut kredibilitas pemerintah daerah. Kalau Bupati saja berani melawan putusan pengadilan, bagaimana masyarakat bisa percaya bahwa hukum ditegakkan dengan adil?” pungkasnya.
Redaksi: wan