
- Pelaku kekerasan
INVESTIGASI — Dugaan kekerasan terhadap perempuan kembali mengguncang Desa Tomori, Kecamatan Bacan, Halmahera Selatan. Seorang perempuan asal Tondano, Sulawesi Utara, berinisial S.W., melaporkan tindakan penganiayaan yang dilakukan oleh Dion, pria asal Surabaya yang dikenal sebagai pembeli batu Bacan. Ironisnya, meski laporan resmi telah masuk sejak 23 Mei 2025, hingga kini Polres Halmahera Selatan belum mengambil langkah hukum tegas, Minggu 06/07/2025.
Peristiwa terjadi sekitar pukul 10.30 WIT di kamar kos Dion, yang berlokasi tak jauh dari Kafe Rama Karaoke. S.W. datang tanpa curiga, namun justru menjadi korban kekerasan fisik secara tiba-tiba.
“Saya baru datang, belum bicara, langsung ditampar. Lalu dijepit di pintu kamar. Saya syok, badan saya sakit semua,” Ujar S.W. saat ditemui media.

- Surat tanda penerima laporan
Korban melaporkan kejadian tersebut ke Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT) Polres Halmahera Selatan dengan nomor STPL/320/V/2025/SPKT. Laporan itu diterima oleh Aipda Muhin La Impi. Bukti-bukti kekerasan telah diserahkan, termasuk hasil visum. Namun lebih dari tiga bulan berlalu, tidak ada penetapan tersangka, tidak ada penahanan, bahkan perkembangan penyelidikan pun tak pernah disampaikan secara terbuka.
“Saya sudah serahkan semua bukti. Tapi pelaku tetap dibiarkan bebas. Apa polisi tunggu saya dipukul lagi?” Lanjut S.W. dengan nada kecewa.
Minimnya progres penanganan membuat publik mulai menduga adanya pembiaran, bahkan indikasi permainan dalam proses hukum. Polres Halmahera Selatan mulai dituding berpihak kepada pelaku. Bagaimana mungkin laporan resmi dengan bukti lengkap bisa diabaikan selama berbulan-bulan?
Padahal dalam KUHP, tepatnya Pasal 351, penganiayaan diancam pidana hingga 2 tahun 8 bulan, atau 5 tahun bila menyebabkan luka berat. Ditambah lagi, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga secara tegas melindungi korban kekerasan fisik, bahkan dalam relasi tidak resmi sekalipun.
Tomori merupakan wilayah yang dikenal dengan aktivitas ekonomi informal dan keberadaan kos-kosan serta tempat hiburan malam. Kondisi ini membuat perempuan, khususnya pendatang, berada dalam posisi rentan. Ketika aparat yang seharusnya menjadi pelindung justru diam, rasa aman masyarakat pun hilang.
“Saya trauma, saya takut. Tapi yang paling menyakitkan itu bukan dipukul, tapi saat polisi belum juga menangkap pelaku,” Tambahnya
Dua bulan laporan mengendap, pelaku masih bebas, dan polisi tetap bungkam. Publik pun mulai bertanya: ada apa dengan Polres Halsel? Kini Kapolres Halmahera Selatan dan jajarannya dituntut menjawab. Apakah mereka benar-benar berdiri di sisi hukum dan keadilan, atau justru sedang mempertontonkan ketidakadilan di hadapan korban dan masyarakat.?
Redaksi
KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment