
INVESTIGASI - Obi, 30 Juni 2025, Di tengah perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Bhayangkara ke-79 yang semestinya menjadi momentum refleksi bagi institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia, justru muncul ironi di wilayah Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan. Sejumlah kasus hukum serius, mulai dari kekerasan seksual terhadap anak, sodomi oleh oknum pendidik, hingga kekerasan fisik terhadap perempuan, hingga kini tak kunjung diselesaikan secara tuntas oleh Kepolisian Sektor (Polsek) Obi.
Penegakan hukum yang semestinya menjadi wujud nyata pengayoman terhadap masyarakat justru menciptakan ruang gelap dalam proses penegakan keadilan. Ini menjadi “hadiah kelam” bagi publik Obi dalam peringatan hari besar Kepolisian tahun ini, Praktisi hukum Bambang Joisangadji S.H pun angkat suara.
Kasus paling mencolok adalah dugaan pemerkosaan terhadap anak di bawah umur yang diduga dilakukan secara bergiliran oleh enam orang pelaku di Desa Akegula. Berdasarkan Laporan Polisi Nomor: STPL/30/K/VI/2025/SPKT/SEK-OBI, tertanggal 13 Juni 2025, laporan telah diterima secara resmi oleh Polsek Obi.
Korban dalam kasus ini masih berstatus sebagai anak di bawah umur sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Perlindungan Anak No. 35 Tahun 2014, yang menyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Para pelaku seharusnya dijerat dengan Pasal 81 ayat (1) jo. Pasal 76D Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, yang berbunyi.
"Setiap orang yang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah).” terang Bambang
Namun hingga berita ini diturunkan, enam orang terduga pelaku masih bebas berkeliaran, menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan di masyarakat. Lambatnya proses penyelidikan dan penyidikan dalam kasus ini menuai kecaman keras dari aktivis perlindungan anak dan masyarakat setempat.
Tak kalah mengejutkan, dunia pendidikan di Obi juga tercoreng dengan munculnya dugaan tindak pidana sodomi yang melibatkan seorang oknum guru dan murid laki-lakinya. Dugaan ini termasuk dalam kategori kejahatan seksual yang serius dan dapat dijerat menggunakan Pasal 76E jo. Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak.
"Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling banyak Rp5.000.000.000.” Lanjut pengacara kondang ini
Namun ironisnya, kasus yang telah dilaporkan ke pihak Polsek Obi ini pun hingga kini tidak menunjukkan perkembangan yang signifikan. Proses hukum terkesan mengambang, sementara pelaku masih berada dalam lingkungan sosial yang sama dengan korban, tanpa adanya tindakan preventif dari aparat penegak hukum.
Kasus penangkapan terhadap seseorang bernama Deni atas dugaan pelanggaran Peraturan Daerah terkait peredaran minuman keras (miras) ilegal, menjadi satu dari sedikit tindakan yang diambil oleh Polsek Obi. Namun, meski terjadi Operasi Tangkap Tangan (OTT), proses hukum terhadap tersangka juga tidak jelas arahnya.
Padahal, pelanggaran ini dapat dijerat melalui Pasal 204 KUHP jika ditemukan bahwa miras tersebut berbahaya bagi kesehatan, atau melalui sanksi Peraturan Daerah Kabupaten Halmahera Selatan tentang Pengendalian Minuman Beralkohol. Ketidaktuntasan proses hukum ini menimbulkan kesan bahwa penegakan hukum hanya dilakukan secara seremonial dan parsial.
Lebih tragis lagi adalah kasus kekerasan fisik terhadap seorang ibu rumah tangga (IRT) di Desa Anggai, Keluarga korban yang merasa tidak mendapatkan perlindungan hukum akhirnya diduga melakukan tindakan pembalasan secara pribadi. Akibatnya, suami korban kini justru ikut juga terseret dalam proses hukum sebagai tersangka, diduga akibat tindakan main hakim sendiri yang lahir dari frustrasi atas lambannya respons Polsek Obi.
Kasus ini menunjukkan pelanggaran serius terhadap prinsip due process of law serta Pasal 351 KUHP tentang Penganiayaan, yang menyatakan "Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
Namun karena unsur tidak adanya tindakan cepat dari penegak hukum, warga justru terpaksa mengambil tindakan sendiri, yang berujung pada kriminalisasi terhadap pihak yang semestinya mendapat perlindungan.
Kondisi ini menunjukkan lemahnya fungsi penyidikan yang dijalankan oleh Polsek Obi, bertentangan dengan prinsip dasar dalam KUHAP yang mewajibkan penyidik untuk segera dan tepat waktu menangani perkara. Ketiadaan progres dalam penyidikan kasus-kasus di atas telah menimbulkan trauma psikologis pada korban dan keluarga, serta menimbulkan stigma negatif terhadap lembaga kepolisian termasuk Dugaan Keterlibatan oknum anggota Polsek dalam Percobaan mediasi untuk kasus diatas.
Padahal dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, disebutkan dalam Pasal 13 bahwa salah satu fungsi utama kepolisian adalah “Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, Serta menerapkan prinsip transparansi kepada korban dalam penanganan kasus” Sayangnya, fungsi ini justru tidak tercermin dalam praktik di lapangan. Tutup Bambang saat hubungi oleh tim media.
Melihat deretan kasus yang tertunda dan tak terselesaikan, berbagai elemen masyarakat Obi mulai angkat suara. Beberapa organisasi masyarakat sipil, tokoh agama, dan tokoh adat mendesak agar dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja Polsek Obi, termasuk pemeriksaan internal oleh Propam Polres Halmahera Selatan dan Propam Polda Maluku Utara.
Desakan ini juga didasari pada fakta bahwa pembiaran atas kasus kekerasan seksual terhadap anak bukan hanya bentuk kelalaian institusi, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap konvensi internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, yakni Konvensi Hak Anak (Convention on the Rights of the Child).
HUT Bhayangkara ke-79 di Kecamatan Obi seharusnya menjadi ajang merekatkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap institusi Polri. Namun yang terjadi justru sebaliknya—potret buram penegakan hukum, korban yang terlunta tanpa keadilan, dan pelaku yang masih bebas berkeliaran, menjadi cermin kelam bagi wibawa kepolisian di tingkat sektor.
Jika hal ini terus dibiarkan, maka bukan hanya kepercayaan masyarakat yang tergerus, tetapi juga martabat dan legitimasi institusi kepolisian itu sendiri. Sudah saatnya, Polres Halmahera Selatan dan Polda Maluku Utara turun tangan, mengawal dan menuntaskan setiap kasus dengan menjunjung tinggi prinsip hukum yang adil, cepat, dan tidak memihak.
Reporter : Faldi Usman
KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment