Makassar,Investigasi.Wartaglobal.id – Ketua Umum Lembaga Advokasi HAM Indonesia (LHI) sekaligus Ketua Majelis Tinggi Perkumpulan Rumpun Wija Pemersatu Adat Nusantara (PERWIRA NUSANTARA), Arham MSi La Palellung, kembali menyoroti lambannya proses hukum dalam kasus penganiayaan yang terjadi di Pakumanu, Luwu Timur. Ia menegaskan bahwa tindak pidana penganiayaan dengan senjata tajam tidak boleh dikesampingkan hanya karena ada narasi konflik tanah atau pendekatan budaya.
Menurut Arham, fakta hukum sudah jelas bahwa korban RO mengalami luka akibat senjata tajam, didukung dengan bukti visum, rekaman video, dan kesaksian saksi. Namun, hingga saat ini, pihak kepolisian belum menetapkan tersangka.
"Kami melihat ada upaya pengaburan substansi hukum dengan mengalihkan isu ke konflik tanah dan pendekatan budaya. Ini adalah tindakan pidana murni yang harus diselesaikan melalui jalur hukum, bukan dengan mediasi yang justru dapat menghilangkan hak korban untuk mendapatkan keadilan," ujar La Palellung dalam keterangannya di Makassar, Senin (10/3/2025).
Ia juga menanggapi pernyataan pakar kriminologi yang menyarankan penyelesaian dengan restoratif justice. Menurutnya, pendekatan itu tidak bisa diterapkan pada kasus penganiayaan berat yang mengancam nyawa korban.
"Restoratif justice mungkin bisa digunakan dalam perkara ringan atau yang disepakati kedua belah pihak. Tapi jika ada unsur kekerasan dan penggunaan senjata tajam, hukum pidana harus tetap ditegakkan. Jangan sampai ini menjadi preseden buruk di mana pelaku kejahatan bisa berlindung di balik dalih konflik tanah atau budaya," tegasnya.
*Desakan untuk Transparansi dan Independensi Aparat Penegak Hukum*
Lebih lanjut, La Palellung menegaskan bahwa kepolisian harus bertindak independen dan tidak tunduk pada tekanan atau pengaruh pihak tertentu. Jika ada indikasi keterlambatan yang disengaja, pihaknya akan mengambil langkah lebih lanjut.
"Kami mendesak Polres Luwu Timur untuk segera menetapkan tersangka dalam kasus ini. Jika dalam waktu dekat tidak ada perkembangan, kami akan membawa kasus ini ke Propam Polri, Kompolnas dan Komnas HAM. Tidak boleh ada permainan hukum yang merugikan korban," tambahnya.
Sebagai Ketua Majelis Tinggi PERWIRA NUSANTARA, La Palellung juga menegaskan bahwa hukum adat tidak boleh disalahgunakan untuk melindungi pelaku kejahatan.
"Adat itu mengayomi, bukan untuk dijadikan tameng dalam perkara pidana. Siapa pun yang melakukan tindak penganiayaan, apalagi dengan senjata tajam, harus bertanggung jawab secara hukum. Hukum adat tidak boleh dipakai untuk menghambat keadilan," pungkasnya.
Kasus ini menjadi perhatian luas, terutama di kalangan aktivis hukum dan pemerhati hak asasi manusia. La Palellung bersama tim LHI dan PERWIRA NUSANTARA memastikan akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas.* (Tim)
KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment