
Jakarta, INVESTIGASI - Temuan gabungan WALHI dan Auriga Nusantara kembali mengguncang diskursus tata kelola lingkungan nasional. Kajian September 2022 itu menempatkan Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden dengan pemberian konsesi terbesar kedua sepanjang sejarah, mencapai sekitar 55 juta hektare dalam dua periode pemerintahannya. Temuan ini menegaskan adanya kesinambungan pola ekspansi korporasi yang telah mengakar sejak era Orde Baru.
Konsesi pada masa SBY meliputi sektor pertambangan, perkebunan, dan kehutanan, memperpanjang jejak perizinan masif yang dimulai sejak kepemimpinan Soeharto dengan total 79 juta hektare selama 32 tahun. WALHI menilai percepatan investasi pasca-pengesahan regulasi penanaman modal menjadi faktor kunci yang membuka ruang penetrasi korporasi hingga ke kawasan hutan lindung dan wilayah rawan bencana.
Sementara itu, rezim Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati cenderung lebih rendah dalam pemberian izin akibat masa pemerintahan yang relatif singkat serta adanya sejumlah upaya menahan penetrasi tambang di kawasan hutan. Namun, pola penguasaan lahan kembali menguat pada masa Joko Widodo. Meski terdapat program perhutanan sosial, porsi konsesi untuk korporasi dinilai tetap lebih dominan dibandingkan distribusi lahan untuk masyarakat.
Deretan bencana banjir bandang dan longsor di Sumatra belakangan memperkuat kritik tersebut. WALHI Sumut menyoroti kawasan Batang Toru sebagai kasus nyata, di mana keanekaragaman hayati tinggi terancam oleh ekspansi tambang, energi, dan perkebunan. Mereka menegaskan bahwa bencana hidrometeorologi tidak dapat dilepaskan dari kerusakan ekologis yang diperparah oleh tumpang tindih konsesi.
Temuan WALHI–Auriga kembali memunculkan tuntutan agar pemerintah memperketat izin pemanfaatan ruang serta menindak tegas pelaku perusakan hutan. “Jika tidak ada koreksi kebijakan yang jelas, risiko bencana ekologis akan terus meningkat, terutama di wilayah dengan tutupan hutan yang semakin menipis,” ujar salah satu peneliti WALHI dalam rilisnya.
Redaksi/*


.jpg)