LSM Matahukum Desak KPK Bongkar Dugaan Kelebihan Dana Reses DPR: “Human Error atau Skema Sistematis?” - Investigasi Warta Global

Mobile Menu

Top Ads

Responsive Leaderboard Ad Area with adjustable height and width.

Tranding Nasional

🎉 Dirgahayu Republik Indonesia ke-80 — 17 Agustus 1945 - 17 Agustus 2025 🎉

More News

logoblog

LSM Matahukum Desak KPK Bongkar Dugaan Kelebihan Dana Reses DPR: “Human Error atau Skema Sistematis?”

Sunday, 12 October 2025

Sekjen Matahukum Mukhsin Nasir, : FOTO Istimewah

Jakarta,Investigasi Warta Global - Sekretaris Jenderal LSM Matahukum, Mukhsin Nasir, menyoroti keras dugaan kelebihan transfer dana reses anggota DPR RI tahun sidang 2024–2025 yang disebut sebagai “human error” oleh pihak Sekretariat Jenderal DPR. Ia menilai alasan tersebut tidak masuk akal dan justru menimbulkan kecurigaan publik atas adanya potensi permainan sistematis di balik mekanisme keuangan lembaga legislatif tersebut.

“Kalau kesalahan hanya dialami satu atau dua anggota, mungkin masih bisa dimaklumi. Tapi kalau seluruh anggota DPR — jumlahnya 580 orang — menerima kelebihan dana yang sama, itu bukan lagi human error, itu sistem error yang patut diselidiki,” tegas Mukhsin kepada WartaGlobal.Id, Sabtu (11/10/2025).

Mukhsin, yang akrab disapa Daeng, menilai dalih “kekeliruan aritmetika” yang disampaikan Sekretariat DPR tidak logis. Ia menilai, mekanisme pencairan dana negara memiliki sistem pengawasan berlapis, baik dari internal DPR maupun Kementerian Keuangan, sehingga mustahil kesalahan nominal miliaran rupiah lolos tanpa ada yang menyadari.

Ia mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan melakukan investigasi komprehensif terhadap aliran dana reses tersebut. “KPK harus buka semua dokumen pencairan dan penggunaan dana reses, lalu mempublikasikannya secara terbuka. Publik berhak tahu bagaimana uang rakyat sebesar itu bisa salah transfer berjamaah,” ujarnya.

Selain itu, Daeng juga meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) segera melakukan audit investigatif terhadap proses dan sistem pembayaran dana reses DPR, karena mekanisme yang terjadi dinilai tidak sesuai dengan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). “Kelebihan transfer ini memperlihatkan bahwa sistem kontrol di DPR rapuh, bahkan bisa dimanipulasi,” ujarnya.

Gedung Komisi Pemberatas Korupsi Republik Indonesia Jakarta. 

Menurut data, Sekretariat Jenderal DPR telah menetapkan dana reses sebesar Rp702 juta per anggota sejak Mei 2025. Namun, pada pencairan terakhir, nominal yang ditransfer mencapai Rp756 juta, sehingga terjadi selisih Rp54 juta per anggota. Padahal, setahun sebelumnya dana reses hanya berkisar Rp360 juta dan sudah dua kali naik dalam satu tahun anggaran.

“Persoalan ini belum selesai hanya dengan pengembalian uang. DPR harus menunjukkan bukti konkret bahwa dana tersebut benar-benar dikembalikan ke kas negara,” tegas Daeng. Ia menambahkan, jika tidak ada transparansi, publik berhak menduga bahwa ada upaya menutupi praktik penyalahgunaan dana publik yang sudah berlangsung sistematis.

“Ini bukan sekadar soal salah hitung, tapi soal kepercayaan publik terhadap lembaga negara. Kalau DPR saja bisa salah transfer massal, bagaimana rakyat bisa percaya pada integritas wakilnya?” tutup Mukhsin Nasir.