Obi, Investigasi MALUT - Praktik penjualan ban bekas dump truck (DT) di kawasan industri nikel Obi Kawasi kian menjadi sorotan publik. Investigasi jurnalis menemukan adanya transaksi antara PT. Sinar Kurnia Alam sebagai pihak penjual dan CV. Cahaya Kurnia Ban sebagai pihak pembeli. Kedua perusahaan ini sama-sama memiliki badan hukum dan izin operasional, namun transparansi kerja sama mereka dinilai masih menyisakan banyak pertanyaan.
Dari sisi legalitas, keberadaan PT. Sinar Kurnia Alam terdaftar sebagai subkontraktor yang beroperasi di Houl Sagu. Sementara CV. Cahaya Kurnia Ban dipimpin oleh Rifki Danang Fauzi yang bertindak langsung dalam proses pembelian ban bekas tersebut. Meski demikian, sejumlah pihak menilai bahwa kedekatan kedua perusahaan dapat memunculkan potensi konflik kepentingan, terutama jika proses jual beli tidak dilakukan secara terbuka.
Dalam konfirmasi yang dilakukan wartawan, Rifki menyatakan bahwa perusahaannya beroperasi secara sah dan memiliki izin lengkap. Namun, saat diminta menunjukkan dokumen legalitas seperti akta pendirian atau izin usaha sebagai bentuk verifikasi, ia hanya memperlihatkan dokumen kerja sama dan invoice pembayaran.
“Kalau soal izin, kami lengkap, pak. Kami juga bayar pajak dan keberadaan kami diketahui pihak desa karena diperkenalkan langsung oleh kepala desa kepada perusahaan. Jadi keberadaan kami di sini legal,” kata Rifki Danang Fauzi melalui pesan konfirmasi.
Pernyataan ini justru menimbulkan tanda tanya baru. Ketidakmampuan menunjukkan bukti legalitas kepada media membuat publik meragukan keterbukaan CV. Cahaya Kurnia Ban dalam menjalankan bisnis. Padahal, transparansi menjadi hal penting untuk memastikan bahwa transaksi ini tidak merugikan pihak lain maupun melanggar ketentuan perusahaan induk.
Seorang pemerhati tambang di Maluku Utara menegaskan bahwa kasus seperti ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Menurutnya, meski perusahaan terkait mengaku sah secara hukum, ketertutupan informasi berpotensi membuka ruang bagi praktik monopoli dan penyalahgunaan kewenangan.
“Masalahnya bukan hanya soal izin formal, tetapi juga soal transparansi. Jika dokumen tidak bisa diakses atau ditunjukkan, wajar publik curiga. Aparat perlu memastikan bahwa mekanisme distribusi aset perusahaan berjalan sesuai aturan,” ujarnya menutup.
Redaksi