
Sumber investigasi menyebutkan, seorang pria bernama Nikolas diduga menjadi aktor utama dalam distribusi zat berbahaya tersebut. Selama tiga tahun terakhir, Niko beroperasi tanpa izin resmi penyimpanan bahan kimia, termasuk Tanda Daftar Rumah Penyimpanan (TDR) yang wajib dimiliki setiap penyalur bahan berbahaya. Ironisnya, izin TDR baru dikantongi pada Mei 2025, namun peredaran zat kimia berbahaya diyakini sudah berlangsung jauh sebelumnya.
Warga Desa Anggai menuturkan bahwa Nikolas sempat ditangkap aparat Polres Halmahera Selatan di Pelabuhan Babang dalam kasus serupa. Proses hukum atas kasus ini masih berlangsung, namun kekhawatiran warga justru semakin besar.
“Kami takut bahan kimia itu bocor ke air tanah dan membahayakan anak-anak kami,” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya, Sabtu (02/08/2025).
Informasi lapangan menunjukkan bahwa lebih dari 200 jenis zat kimia berbahaya disimpan di satu gudang yang tidak memenuhi standar keamanan, apalagi legalitas.
Lebih dari sekadar ancaman kesehatan, penggunaan bahan-bahan seperti sianida dan merkuri dalam pengolahan emas ilegal telah mengakibatkan kerusakan lingkungan parah. Warga melaporkan perubahan warna air sungai, lubang-lubang tambang tak bertuan, dan ketakutan akan dampak jangka panjang yang belum terdeteksi.
Desakan publik pun meningkat. Masyarakat meminta aparat penegak hukum agar tidak menutup mata dan segera menindak tegas pelaku. Mereka juga menuntut Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Perindag) Halmahera Selatan untuk terbuka mengenai pengawasan bahan kimia berbahaya.
“Perindag harus transparan. Kami butuh jaminan keamanan dan informasi jelas,” tegas seorang tokoh masyarakat.
Warga Obi kini menanti tindakan konkret: penertiban tambang ilegal, pengawasan distribusi bahan kimia berbahaya, serta perlindungan lingkungan yang selama ini terabaikan,(red).
KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment