
INVESTIGASI — Proyek pembangunan 25 unit jamban di Desa Wayakuba, Kecamatan Bacan Timur Selatan, Kabupaten Halmahera Selatan. dengan total anggaran lebih dari Rp1 miliar yang berasal dari Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Disperkim) menuai gelombang protes keras dari masyarakat. Bantuan yang seharusnya menyasar warga tidak mampu justru diduga kuat hanya menguntungkan segelintir orang dalam, Jum'at 08/08/2025.
Sebagian besar masyarakat menilai program ini gagal total. Bantuan jamban yang digembar-gemborkan sebagai bentuk perhatian negara terhadap sanitasi desa, nyatanya dianggap hanya dinikmati oleh orang-orang di lingkaran pengurus.
Anggaran proyek terbagi dua: sekitar Rp600 juta lebih dikelola oleh pihak kantor, sementara Rp400 juta dipercayakan kepada tim pelaksana di lapangan yang terdiri dari Nursahid Hi Wahid (Ketua), Rifai Hi Jamil (Sekretaris), dan Safrudin Jamal (Bendahara). Namun hingga kini, tidak ada rincian transparan mengenai pengelolaan dana di kedua sisi tersebut.
Lebih ironis, proyek dikerjakan tanpa papan nama kegiatan, suatu pelanggaran mendasar terhadap prinsip transparansi penggunaan dana publik. Proyek publik yang dilakukan tanpa informasi terbuka patut dipertanyakan legalitas dan niat di baliknya.

Bantuan juga menggunakan skema setengah swadaya. Dinas terkait hanya menyediakan sebagian material seperti semen, besi, kloset, dan seng. Sementara pengurus proyek membelanjakan dana Rp400 juta untuk membeli pasir, batu, dan balok. Namun, di sinilah muncul kejanggalan.
Sejumlah warga menyebut, harga material dipangkas secara sepihak. Misalnya, batu yang biasa dihargai Rp200 ribu hanya dibayar Rp100 ribu. Alasannya? Karena dianggap swadaya. Padahal yang terjadi justru sebaliknya - pemotongan dilakukan demi efisiensi sepihak yang tidak jelas tujuannya.
Yang paling menyakitkan, distribusi bantuan diduga sangat timpang. Dari 25 unit jamban, mayoritas diberikan kepada keluarga dekat para pelaksana proyek.
- “Kami ini rakyat kecil, tapi tidak dianggap. Bantuan pemerintah justru hanya dibagi ke keluarga mereka. Apa ini yang disebut keadilan?” ujar seorang warga, menahan emosi.
- “Proyek ini seperti diprivatisasi. Dikelola diam-diam, dibagi diam-diam. Bukan bantuan, tapi proyek keluarga,” Lanjutnya.
Ketika dikonfirmasi di lapangan, Sekretaris pelaksana proyek, Rifai Hi Jamil, justru menanggapi enteng kritikan warga. “Penerima juga ada janda. Kuotanya terbatas, masa mau dipaksa?” ucapnya, yang justru memperkeruh suasana.
Pernyataan tersebut dianggap tidak sensitif dan cenderung menyudutkan masyarakat yang sebenarnya sangat berharap terhadap bantuan tersebut.
Situasi semakin panas ketika Rifai Hi Jamil diduga menyebut seorang wartawan sebagai pengganggu “datang hanya untuk foya-foya”. Tuduhan yang sembrono itu menuai kecaman, karena dianggap sebagai upaya membungkam kontrol publik dan merusak nama baik pers.
- “Wartawan datang bukan untuk bersenang-senang, tapi menjalankan tugas jurnalistik. Tuduhan seperti itu mencerminkan sikap anti-kritik dan arogansi kekuasaan kecil,” Ujar seorang tokoh pemuda setempat.
Warga mendesak audit total dan investigasi menyeluruh oleh aparat terkait, untuk menelusuri dugaan penyelewengan dana negara yang terjadi dalam proyek jamban tersebut.
- “Kami tidak akan diam. Uang negara harus jelas ke mana mengalirnya. Jika ada penyalahgunaan, harus diusut, siapa pun yang terlibat!” tegas salah satu tokoh masyarakat.
Hingga berita ini ditayangkan Kasus ini sedang dalam penelusuran. Tim investigasi media kami akan terus mengawal dan membuka ruang bagi klarifikasi dari pihak-pihak terkait. Transparansi adalah hak publik.
Redaksi
KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment