Beroperasi Selama 3 Tahun, Disperindagkop Halsel Diduga Telah Bermain Mata dengan Saudara Niko, Pemilik Gudang Sianida - Investigasi Warta Global

Mobile Menu

TOP ADS

Responsive Leaderboard Ad Area with adjustable height and width.

More News

logoblog

Beroperasi Selama 3 Tahun, Disperindagkop Halsel Diduga Telah Bermain Mata dengan Saudara Niko, Pemilik Gudang Sianida

Saturday, 2 August 2025

INVESTIGASI — Sabtu, 02 Agustus 2025 | Desa Anggai, Kecamatan Obi, Halmahera Selatan, Desas-desus mengenai dugaan kongkalikong antara Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop) Kabupaten Halmahera Selatan dengan salah satu pengusaha tambang pemilik gudang bahan kimia berbahaya, semakin kencang terdengar di tengah masyarakat Obi. Gudang bahan kimia yang diketahui milik saudara Niko—pengusaha asal luar Obi—berlokasi di Desa Anggai, Kecamatan Obi, telah menuai sorotan publik, khususnya dari warga Desa Anggai dan Sambiki.

Gudang yang dikenal masyarakat sebagai “Gudang CN” ini diduga kuat telah beroperasi selama lebih dari tiga tahun tanpa memenuhi standar dan ketentuan teknis sebagaimana yang telah diatur dalam regulasi perizinan dan pengelolaan bahan berbahaya. Ironisnya, izin Tanda Daftar Resmi (TDR) untuk gudang tersebut baru diterbitkan pada bulan Mei tahun 2025. Hal ini memunculkan pertanyaan serius dari masyarakat dan kalangan praktisi hukum terhadap kredibilitas dan integritas Disperindagkop Halsel sebagai lembaga pemerintah yang seharusnya mengawasi dan menertibkan kegiatan industri dan perdagangan di wilayahnya.

Dari hasil investigasi langsung wartawan di lokasi, ditemukan bahwa di dalam gudang tersebut terdapat lebih dari 30 kaleng sianida, 50 karung kostik, lebih dari 30 karung karbon aktif, serta lebih dari 20 jerigen berisi air keras yang dikemas tanpa label resmi dan tidak dilengkapi dengan sistem pengamanan sebagaimana yang disyaratkan dalam pengelolaan bahan kimia berbahaya.

Menurut informasi yang diperoleh dari sumber internal, gudang tersebut tidak dilengkapi dengan sistem ventilasi memadai, ruang kedap uap, dan tempat penyimpanan kedap air, sebagaimana yang ditentukan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 75/M-DAG/PER/10/2014 tentang Pengelolaan dan Penyimpanan Bahan Berbahaya. Selain itu, tidak terdapat sistem pemadam kebakaran berbasis bahan kimia (fire suppression system), serta tidak ada petugas keselamatan kerja (K3) yang berjaga di lokasi.

Sianida dan bahan kimia lainnya yang tersimpan di gudang itu termasuk dalam kategori bahan sangat berbahaya dan bersifat toksik tinggi. Dalam jumlah besar dan penanganan yang tidak sesuai standar, bahan-bahan ini berpotensi mencemari lingkungan sekitar dan membahayakan kesehatan masyarakat.

Masyarakat Desa Anggai dan Sambiki mulai mempertanyakan mengapa gudang tersebut bisa terus beroperasi tanpa gangguan, sementara para pengusaha lokal yang ingin membuka usaha resmi justru dipersulit secara administratif. Kecurigaan masyarakat menguat saat diketahui bahwa izin TDR baru keluar setelah gudang beroperasi lebih dari tiga tahun. Muncul dugaan bahwa gudang milik Niko “dibackup” oleh oknum-oknum di tubuh Disperindagkop Halsel.

Seorang warga Desa Sambiki yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan kekecewaannya atas sikap pemerintah daerah yang dianggap tidak adil dalam memberikan perlakuan kepada pengusaha.

“Waktu saya urus izin gudang untuk pengelolaan limbah dan penyimpanan bahan kimia, salah satu pegawai Disperindagkop malah bilang ke saya untuk kerjasama saja dengan Pak Niko. Ini kan aneh. Saya dan beberapa saudara saya yang asli orang sini malah dipersulit, padahal kami ingin berusaha secara legal dan mengikuti aturan yang ada,” keluhnya.

Keluhan tersebut bukan yang pertama. Beberapa tokoh masyarakat dan pelaku usaha lokal lain juga menyuarakan keluhan serupa. Mereka mengaku pernah mengalami intimidasi verbal dan pengabaian berulang ketika mencoba melengkapi persyaratan izin resmi.

Masyarakat menyayangkan lemahnya pengawasan dari Disperindagkop maupun instansi teknis lainnya, seperti Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Perizinan. Praktik pungutan liar (pungli) diduga turut mewarnai proses perizinan dan pengelolaan bahan kimia berbahaya di wilayah ini. Tidak adanya inspeksi rutin dan terbukanya akses “khusus” bagi pengusaha tertentu menjadi celah bagi berkembangnya praktik-praktik menyimpang yang bertentangan dengan asas keadilan dan transparansi.

“padahal sebelumnya telah dilakukan audit secara langsung oleh dinas terkait, namun yang sangat disayangkan tidak ada tindakan nyata yang dilakukan, padahal kita semua tahu bahan berbahaya seperti itu sangat beresiko mencemari lingkungan” ucap seorang tokoh pemuda Desa Anggai.

Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa pemerintah seharusnya memprioritaskan keselamatan warga sekitar, bukan justru menjadi pelindung bagi pengusaha nakal. Ia meminta Bupati Halsel dan aparat penegak hukum untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap Disperindagkop dan melakukan audit izin-izin industri yang telah dikeluarkan dalam tiga tahun terakhir.

Beberapa warga mengaku mulai merasa khawatir terhadap kemungkinan kebocoran bahan kimia berbahaya dari gudang tersebut. “Kalau terjadi kebocoran atau kebakaran, siapa yang mau tanggung jawab? Gudang itu jaraknya tidak sampai 200 meter dari pemukiman,” ujar seorang ibu rumah tangga di Desa Anggai.

Hal ini menandakan pentingnya keberadaan sistem deteksi dini serta pengawasan lingkungan secara berkala yang seharusnya menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah daerah dan pengusaha.

Kasus gudang CN milik Niko menjadi simbol ketimpangan sistem perizinan di Halsel. Ketika pengusaha lokal harus berjuang mati-matian mengurus legalitas usaha, pengusaha dari luar daerah justru diduga mendapatkan jalur khusus dan perlindungan dari oknum dinas.

Salah seorang pengusaha lokal yang juga mencoba mengurus izin serupa mengungkapkan. “Kami ini masyarakat Obi yang ingin usaha secara legal, bukan main sembunyi-sembunyi. Tapi kenapa kami justru dianaktirikan? Seolah-olah pemerintah tidak percaya pada kemampuan kami sendiri. Semua akses seperti ditutup, dan ujung-ujungnya kami disuruh gabung atau kerja sama dengan pengusaha dari luar.”

Pernyataan ini memperkuat anggapan bahwa kebijakan otonomi daerah belum sepenuhnya berpihak pada pelaku usaha lokal. Jika hal ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin akan menciptakan kesenjangan sosial dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah.

Sejumlah praktisi hukum di wilayah Halmahera Selatan juga angkat bicara. Mereka meminta agar aparat penegak hukum, termasuk Kepolisian dan Kejaksaan, segera melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh pemilik gudang dan oknum Disperindagkop yang diduga terlibat. Mereka juga mendesak DPRD Halsel untuk membentuk Panitia Khusus (Pansus) guna menyelidiki lebih dalam praktik-praktik tidak sehat dalam sistem perizinan usaha di wilayah Halmahera Selatan. 

Kasus Gudang CN milik Niko menjadi cerminan nyata dari carut-marutnya pengelolaan dan pengawasan dunia usaha di Halmahera Selatan. Dugaan keterlibatan oknum Disperindagkop, lemahnya sistem perizinan, minimnya pengawasan, serta praktik pungli yang dirasakan masyarakat, menjadi catatan serius yang harus segera ditindaklanjuti.

Pemerintah daerah dan aparat hukum diminta tidak menutup mata terhadap keresahan masyarakat. Transparansi, keadilan, dan keberpihakan pada pelaku usaha lokal harus menjadi prinsip utama dalam membangun iklim usaha yang sehat dan berkelanjutan di Halmahera Selatan. Jika tidak, maka kepercayaan publik akan terus merosot, dan masyarakat lokal akan tetap menjadi penonton di tanah mereka sendiri.

Reporter : Faldi Usman
Editor : Redaksi wartaglobal.id



KALI DIBACA

No comments:

Post a Comment