Investigasi Merupakan Mahkota Terbesar Yang Dimiliki Oleh Jurnalis "Jurnalis Lampung Tolak RUU Revisi Penyiaran" - Investigasi Warta Global

Mobile Menu

TOP ADS

Responsive Leaderboard Ad Area with adjustable height and width.

More News

logoblog

Investigasi Merupakan Mahkota Terbesar Yang Dimiliki Oleh Jurnalis "Jurnalis Lampung Tolak RUU Revisi Penyiaran"

Monday, 20 May 2024
Kredit foto: Melanni Investigasi...
Isyarat penolakan Revisi RUU Penyiaran, Massa Mengumpulkan tanda pengenal pers


INVESTIGASI | Bandarlampung — Aksi Tolak Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran atau RUU Penyiaran, di gelar oleh Jurnalis Lampung dari berbagai daerah yang tergabung dalam Koalisi Kebebasan Pers di Tugu Adipura, Minggu 19 Mei 2024.

Revisi UU Penyiaran tertanggal 27 Maret 2024 itu berpotensi menentang kebebasan pers, ekspresi dan kreativitas di ruang digital. 



Andry Kurniawan Koordinasi Aksi mengatakan, "beberapa pasal dalam draf RUU Penyiaran dengan secara spesifik melarang beberapa jenis konten dan produk jurnalistik serta bertentangan dengan UU Pers 40/1999."

Beberapa Organisasi Wilayah Provinsi Lampung, seperti IJTI, Pewarta Foto, Amsi, PWI, PFI, LBH Pers, AJI, Pers Mahasiswa  dan FJPI turut menyampaikan orasi penolakan. 



Mereka menyayangkan ikhwal Revisi UU Penyiaran yang dinilai melemahkan kekuatan Jurnalis di Republik Indonesia sebab Investigasi merupakan mahkota terbesar yang dimiliki oleh jurnalis.

Sepakat Jurnalis dalam aksi damai tersebut menyatukan persepsi yang sama untuk menyuarakan penolakan terhadap UU Penyiaran.

Berikut pasal-pasal bermasalah dalam draf RUU Penyiaran:

Pasal 8A huruf (q), Dalam pasal 8A huruf (q) draf revisi UU Penyiaran, disebutkan bahwa KPI dalam menjalankan tugas berwenang menyelesaikan sengketa jurnalistik khusus di bidang penyiaran. Hal ini terjadi tumpang tindih dengan UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers atau UU Pers yang menyebut bahwa sengketa pers seharusnya diselesaikan oleh Dewan Pers.

Pasal 42 Ayat 2, Serupa Pasal 8A huruf (q), Pasal 42 Ayat 2 juga menyebut bahwa sengketa jurnalistik diurai oleh KPI. Sedangkan berdasarkan UU Pers, penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan oleh Dewan Pers.

Pasal 50 B Ayat 2 (c), Pasal tersebut spesifik mengatur larangan penayangan eksklusif liputan investigasi, padahal, UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers yang menyatakan pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, dan pelarangan penyiaran. 

Pasal 50 B Ayat 2 huruf (k), Pasal tersebut dinilai "karet" sebab terdapat larangan membuat konten siaran yang mengandung penghinaan dan pencemaran nama baik. Padahal, Mahkamah Konstitusi RI telah membatalkan pasal berita bohong yang menimbulkan keonaran, Pasal 14 dan Pasal 15 pada UU No.1 Tahun 1946 dan Pasal 310 ayat (1) tentang pencemaran nama baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada 21 Maret 2024 lalu.

Pasal 51 huruf (E), Selain Pasal 8A huruf (q) dan Pasal 42 aAat 2, Pasal 51 huruf (E) juga tumpang tindih dengan UU Pers. Pasal ini mengatur bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik dilakukan di pengadilan.

Penghapusan Pasal 18 dan 20 dari UU Penyiaran Nomor 32/2002, Pasal tersebut dapat melanggengkan kartel atau monopoli kepemilikan lembaga penyiaran. Di mana pasal-pasal ini membatasi kepemilikan TV dan radio pada konglomerasi tertentu saja.

Berdasarkan persoalan tersebut, Koalisi Kebebasan Pers Lampung menyatakan sikap:
1. Menolak dan menerima agar sejumlah pasal dalam draf revisi RUU Penyiaran yang mengancam dan bertentangan dengan kemerdekaan pers dihapus.
2. Mendesak presiden dan DPR meninjau ulang urgensi rivisi UU Penyiaran dengan melibatkan semua pihak seperti Dewan Pers, Organisasi Jurnalis, dan Kelompok masyarakat sipil dengan prinsip partisipasi bermakna.
3. Mengajak semua pihak untuk mengawal revisi RUU Penyiaran agar tidak menjadi alat untuk membungkam kemerdekaan pers serta kreatifitas individu di berbagai platform.

*Melann!




KALI DIBACA

No comments:

Post a Comment