Kasus GWK Bentuk Gagalnya Pemerintah Provinsi Bali Dalam Keterbukaan, Komunikasi ,Pengawasan Publik Yang Buruk - Investigasi Warta Global

Mobile Menu

Top Ads

Responsive Leaderboard Ad Area with adjustable height and width.

Tranding Nasional

🎉 Dirgahayu Republik Indonesia ke-80 — 17 Agustus 1945 - 17 Agustus 2025 🎉

More News

logoblog

Kasus GWK Bentuk Gagalnya Pemerintah Provinsi Bali Dalam Keterbukaan, Komunikasi ,Pengawasan Publik Yang Buruk

Tuesday, 7 October 2025
Poto Utama, GWK

Bali Indonesia 7/10/2025, InvestigasiWartaGlobal. Id
Bentuk kelalaian pemerintah daerah dalam kasus penutupan akses warga oleh GWK di Bali dapat dilihat dari beberapa aspek:

1. Kurangnya Pengawasan: Pemerintah daerah tidak melakukan pengawasan yang efektif terhadap pembangunan pagar tembok GWK yang menutup akses warga.
2. Tidak Menindaklanjuti Laporan Warga: Pemerintah daerah tidak segera menindaklanjuti laporan warga tentang penutupan akses, sehingga masalah ini menjadi semakin kompleks.
3. Tidak Menghargai Hak Warga: Pemerintah daerah tidak memastikan bahwa hak akses warga tetap terbuka, sehingga warga harus berjuang untuk mendapatkan hak mereka.
4. Kurangnya Komunikasi dengan Pihak GWK: Pemerintah daerah tidak melakukan komunikasi yang efektif dengan pihak GWK untuk menyelesaikan masalah ini secara damai.
5. Tidak Mengambil Tindakan yang Tepat: Pemerintah daerah tidak mengambil tindakan yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini, sehingga warga harus melakukan protes dan meminta bantuan dari pihak lain.

Dengan demikian, kelalaian pemerintah daerah dalam kasus ini dapat dilihat sebagai kegagalan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya untuk melindungi dan melayani warga negara.

Gagalnya kinerja pemerintah daerah dalam kasus penutupan akses warga oleh GWK di Bali dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti:

1. Kurangnya kemampuan dan kompetensi: Pemerintah daerah mungkin tidak memiliki kemampuan dan kompetensi yang cukup untuk menangani masalah ini secara efektif.
2. Kurangnya sumber daya: Pemerintah daerah mungkin tidak memiliki sumber daya yang cukup, seperti anggaran, tenaga kerja, dan infrastruktur, untuk menangani masalah ini.
3. Kurangnya koordinasi: Pemerintah daerah mungkin tidak melakukan koordinasi yang efektif dengan pihak-pihak terkait, seperti warga, GWK, dan lembaga lainnya.
4. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas: Pemerintah daerah mungkin tidak transparan dalam pengambilan keputusan dan tidak akuntabel dalam menjalankan tugasnya, sehingga menimbulkan ketidakpuasan warga.
5. Intervensi kepentingan: Pemerintah daerah mungkin terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan tertentu, seperti kepentingan bisnis atau politik, yang dapat mempengaruhi kinerjanya.

6.Terlalu menutup media independen untuk sosial kontrol

Dengan demikian, gagalnya kinerja pemerintah daerah dalam kasus ini dapat menjadi pelajaran bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan kinerjanya dan lebih responsif terhadap kebutuhan warga.