
INVESTIGASI — Obi, Senin, 14 Juli 2025, Kepala Desa (Kades) Anggai, Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Kamaruddin Tukang, angkat suara mengecam keras tindakan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak yang dilakukan oleh PT. Rimba Kurnia Alam (RKA) Site Mala-Mala terhadap dua orang tenaga kerja yang salah satunya merupakan warga Desa Anggai.
Kritik keras ini disampaikan menyusul kabar pemecatan terhadap Fiski Adam Tou, warga lokal asal Desa Anggai, dan Ayu Fitriani Afrizal, tenaga kerja perempuan asal Kota Ternate. Keduanya diberhentikan secara sepihak pada tanggal 14 Juli 2025 oleh jajaran manajemen PT. RKA, khususnya Kepala Teknik Tambang (KTT) Taufik Rahayadi dan bagian Human Resource Development (HRD) bernama Sunhaji.
Menurut informasi yang diperoleh dari pihak keluarga dan rekan kerja kedua korban PHK, tidak ada kesalahan berat yang dilakukan oleh Fiski maupun Ayu selama mereka bekerja. Bahkan, Fiski telah mendapatkan penilaian positif dari atasan divisinya dan sedang dalam proses untuk diangkat sebagai karyawan tetap. Namun, dugaan kuat menyebut bahwa pemecatan ini dilandasi oleh konflik kepentingan di internal manajemen. Diduga kuat bahwa posisi keduanya hendak digantikan oleh kerabat dari petinggi perusahaan.
Kades Kamaruddin menilai bahwa tindakan tersebut adalah bentuk pengkhianatan terhadap komitmen investasi yang selama ini disampaikan oleh PT. RKA kepada pemerintah desa dan masyarakat lingkar tambang. Dalam berbagai kesempatan sebelumnya, perusahaan tambang itu selalu menjanjikan akan mengutamakan tenaga kerja lokal dari wilayah Obi sebagai bagian dari tanggung jawab sosial dan pemberdayaan masyarakat sekitar tambang.
“Pemecatan Fiski Adam Tou ini adalah tamparan keras bagi masyarakat Desa Anggai. Padahal dari awal perusahaan datang, mereka berjanji akan mengutamakan anak-anak desa untuk dipekerjakan. Tapi faktanya justru yang terjadi sebaliknya. Ini kami anggap sebagai bentuk penindasan dan ketidakadilan. Dan saya, sebagai kepala desa, tidak akan tinggal diam,” tegas Kamaruddin dalam pernyataannya kepada media (14-07-2025).
Serikat Buruh Garda Nusantara (SBGN) Maluku Utara juga turut menyoroti kasus ini. Sekretaris SBGN Malut, Sofyan Abubakar, menyebut bahwa kasus ini sudah masuk dalam pengawasan lembaga mereka dan akan segera dilaporkan ke Dinas Ketenagakerjaan Kabupaten Halmahera Selatan dan Provinsi Maluku Utara.
“Kasus ini sangat janggal. Berdasarkan laporan awal yang kami terima, proses PHK tidak didasarkan pada alasan yang objektif, tidak dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Ketenagakerjaan, dan cenderung diskriminatif. Kami akan kawal hingga ke ranah hukum jika perlu,” ujar Ilham.
SBGN juga membenarkan bahwa sebelum PHK dilakukan, sempat dilakukan mediasi internal secara bipartit antara manajemen dan kedua pekerja. Namun, proses tersebut berakhir buntu tanpa solusi yang adil bagi pihak pekerja.
Tindakan PHK sepihak oleh manajemen PT. RKA diduga kuat melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang telah diperbarui dalam UU Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020) dan Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Istirahat, serta Pemutusan Hubungan Kerja.
Pasal 151 UU Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahwa pengusaha, pekerja/buruh, dan pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK. Bila PHK tidak dapat dihindari, maka harus dilakukan sesuai prosedur dan alasan yang sah.
Pasal 36 PP No. 35 Tahun 2021, yang mengatur bahwa PHK hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan-alasan tertentu yang diatur secara limitatif, seperti efisiensi, kesalahan berat, atau pengunduran diri sukarela. Tidak disebutkan bahwa PHK karena “penggantian oleh kerabat manajemen” sebagai alasan yang sah.
Pasal 37 PP No. 35 Tahun 2021, yang menekankan pentingnya proses dialog dan penyelesaian melalui bipartit atau tripartit, serta hak pekerja untuk mendapatkan kompensasi.
Dengan tidak adanya alasan hukum yang jelas, serta kegagalan dalam penyelesaian bipartit, tindakan PT. RKA berpotensi melanggar hukum dan dapat dilaporkan ke pengadilan hubungan industrial.
Kamaruddin Tukang menegaskan bahwa ia akan memfasilitasi langkah-langkah advokasi yang diperlukan untuk membela hak-hak Fiski dan Ayu. Selain itu, ia juga mendesak agar manajemen PT. RKA segera memberikan klarifikasi terbuka dan mengembalikan kedua pekerja tersebut ke posisi semula.
“Kami masyarakat Anggai tidak anti investasi. Tapi kami tidak akan menerima jika perusahaan justru menjadi mesin penindas bagi anak negeri. Ini tanah kami, tambang ini berdiri di atas sumber daya kami. Maka sepatutnya kami yang menjadi prioritas untuk bekerja dan diberi tempat yang adil,” pungkas Kamaruddin.
SBGN juga mengisyaratkan bahwa dalam waktu dekat akan mengadakan aksi unjuk rasa di depan kantor PT. RKA dan Dinas Ketenagakerjaan sebagai bentuk solidaritas terhadap para pekerja yang di-PHK secara sepihak.
Dengan adanya insiden ini, masyarakat mendesak Bupati Halmahera Selatan dan Gubernur Maluku Utara agar mengevaluasi ulang izin operasional PT. RKA dan memastikan bahwa seluruh perusahaan tambang di wilayah Obi mematuhi aturan ketenagakerjaan serta tidak melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap pekerja, khususnya tenaga kerja lokal.
Kasus ini menjadi bukti bahwa pengawasan terhadap industri ekstraktif masih sangat lemah, dan ketimpangan relasi antara perusahaan dan masyarakat lokal masih menjadi masalah serius di lingkar tambang.
Reporter : Faldi Usman
KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment