Investigasi.wartaglobal.id ll Aceh Tamiang - Memperingati Hari Lahan Basah Sedunia, 2 Februari 2004, sejumlah lembaga pegiat lingkungan hidup melakukan deklarasi dan penyataan sikap koalisi menyelamatkan lahan basah dan hutan Aceh.
Deklarasi tersebut ditandatangani, Aceh Wetland Foundation, Yayasan Apel Green Aceh, LSM Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembahTari), Pemuda Pembela Tanah Rakyat (PAPETRA), Generasi Beutoeng Ateuh Banggalang, Gayo Rimba Bersatu LSM Harimau Pining, LSM Komunitas Aneuk Nanggroe dan Yayasan Hutan Hujan Aceh
Aceh Mangrove Youth.
Direktur Eksekutif Aceh Wetland Foundation (AWF) Yusmadi Yusuf didampingi LSM Lembaga Advokasi Hutan Lestari (LembahTari), Said Zainal, S.H dan Yayasan Apel Green Aceh, Rahmad Syukur, Sabtu (3/2) mengatakan, seiring dengan pertumbuhan perkotaan dan peningkatan permintaan lahan, kecenderungannya adalah merambah lahan basah dan lahan basah tersebut menghilang tiga kali lebih cepat dibandingkan hutan.
Menurut mereka, lahan basah dan manusia merupakan kehidupan yang saling berkaitan. Lahan basah sangat penting bagi kesejahteraan kita. Baik melalui penyediaan air bersih, sebagai sumber makanan atau melindungi kita dari cuaca ekstrem, lahan basah yang sehat sama dengan kesejahteraan kita.
“Hari Lahan Basah Sedunia diperingati setiap tahun pada tanggal 2 Februari. Peringatan ini meningkatkan kesadaran dan meningkatkan pemahaman masyarakat akan pentingnya lahan basah,” katanya.
Di seluruh penjuru dunia, sebutnya, umat manusia telah bergantung pada lahan basah selama berabad-abad, dan mendapatkan makanan, inspirasi, dan ketahanan dari lingkungan penting ini.
Meskipun banyak manfaat yang diperoleh manusia dari lahan basah, setiap hari lahan basah dirusak oleh manusia. Lahan basah dihancurkan oleh praktik pertanian tidak berkelanjutan yang merupakan penyebab utama hilangnya lahan basah melalui drainase dan penimbunan.
Banyak lahan basah, khususnya di dekat perkotaan, juga telah tercemar oleh aktivitas manusia dan baru-baru ini semakin terdegradasi oleh polusi plastik, yang memperburuk krisis tiga planet yaitu perubahan iklim, hilangnya alam, dan polusi yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan manusia.
Sementara Sekretaris Jenderal Konvensi Lahan Basah, Dr Musonda Mumba dalam laporannya menyebutkan, tren pemukiman manusia saat ini juga menimbulkan ancaman besar terhadap konservasi dan pemanfaatan lahan basah secara bijaksana di dan sekitar kota-kota berkembang.
Seiring dengan pertumbuhan perkotaan dan peningkatan permintaan lahan, kecenderungannya adalah merambah lahan basah dan lahan basah tersebut menghilang tiga kali lebih cepat dibandingkan hutan.
Oleh karena itu, kita perlu menghentikan perusakan yang sedang berlangsung dan mendorong tindakan untuk melestarikan dan memulihkan ekosistem penting ini.
Lahan basah terdiri hutan mangrove, hutan gambut, sungai, rawa, danau, pantai, delta dan laut. Habitat ini menjadi satu kesatuan dari ekosistem lahan basah yang menjadi tumpuan penting segenap makhluk hidup. Laju degradasi lahan basah di Aceh terjadi lebih cepat dari yang kita perkirakan.
Di habitat mangrove dalam kawasan hutan di Aceh Timur, Langsa dan Aceh Tamiang, luas kawasan hutan terus menyusut akibat pengalihan fungsi dan perambahan.
Hutan gambut di Nagan Raya dan Abdya terus dikeringkan untuk pengembangan HGU kelapa sawit. Kanal-kanal dibuka dalam kawasan hutan yang kaya karbon ini. Rumah Orangutan Sumatera di habitat ini terancam.
Danau Lut Tawar bukan sedang baik-baik saja.
KALI DIBACA
No comments:
Post a Comment